Kritik ICEL Terhadap Deregulasi Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Direktur Bidang Program dan Kepala Divisi Tata Kelola LH dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Grita Anindarini. (Foto: Dok Pribadi)

UNAIR NEWS –Human Rights Law Studies (HRLS) mengadakan webinar yang mengupas tema ““Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dalam Himpitan UU Cipta Kerja” pada Sabtu sore (21/11/2020). Untuk membahas sisi lingkungan hidup dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Grita Anindarini selaku Deputi Direktur Bidang Program dan Kepala Divisi Tata Kelola LH dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) diundang sebagai narasumber.

Ninda, sapaan karibnya, membuka materinya dengan menuturkan perspektif UU Ciptaker terhadap perlindungan lingkungan hidup banyak luputnya dan cenderung menyepelekan kompleksitas dari kewajiban Pemerintah dalam menjamin hak lingkungan hidup. Contoh yang diambil oleh Ninda adalah soal amdal. Dalam UU Ciptaker, aspek keterlibatan masyarakat dalam penyusunan amdal dihapuskan. Ketika Ninda menilik naskah akademiknya, hanya dijabarkan bahwa alasan mengapa aspek keterlibatan masyarakat dihapuskan adalah karena hal tersebut memakan banyak biaya dan membutuhkan waktu lama, namun argumen tersebut tidak dijelaskan atau disokong oleh data yang mumpuni. Perlu diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup merupakan salah satu hak asasi manusia.

“Naskah akademik UU Ciptaker menurut kami merupakan salah satu naskah akademik terburuk karena seringkali penjelasan yang diberikannya tidak menjelaskan mengapa suatu pasal harus diubah. Partisipasi masyarakat merupakan suatu hak fundamental. Apabila hal tersebut tidak efektif, hendaknya perketat regulasinya supaya efektif, jangan dihapuskan,” tutur pakar Hukum Lingkungan dan Energi itu

Alumni University of Aberdeen itu mengatakan bahwa deregulasi lingkungan hidup dalam UU Ciptaker ini berujung pada berbagai pelemahan. Dalam aspek perlindungan lingkungan hidup, Ninda memberi contoh bahwa izin lingkungan dalam mendirikan suatu usaha diubah menjadi persetujuan lingkungan yang menyebabkan interpretasi hukum yang luas tentang apakah persetujuan tersebut dapat digugat karena minimnya regulasi. Hak atas informasi publik juga dibatasi dengan persetujuan lingkungan yang telah sah hanya dapat diakses oleh media elektronik, dimana sebelumnya hal tersebut harus dapat diakses oleh media apapun yang memudahkan masyarakat.

“Pelemahan instrumen tata ruang juga dilakukan dimana pemanfaatan ruang dapat tetap dilakukan sekalipun belum tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, selama itu demi kebijakan strategis nasional. Di era dimana krisis lingkungan di bumi ini terjadi dimana-mana, Pemerintah malah memutuskan ini waktu yang tepat untuk melakukan deregulasi yang menghapus hal-hal fundamental,” ujar alumni Universitas Indonesia itu.

Ninda merefleksikan pemaparannya soal UU Cipta Kerja itu dengan mengatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang telah terikat dengan berbagai perjanjian internasional dengan prinsip bahwa pembangunan tidak sekali-kali dapat mengurangi kualitas aspek perlindungannya terhadap lingkungan hidup. Namun nyatanya, aspek tersebut diabaikan atas nama penggenjotan ekonomi dan karpet merah bagi investasi. Perlu diketahui bahwa webinar ini juga mengundang perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Pakar HAM UNAIR Herlambang P. Wiratraman.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).