AS dalam Konflik Israel-Palestine: Solusi atau Masalah?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Bendera negara Israel dan Palestina. (Sumber: Sumeks)

Selama konflik Israel-Palestina berlangsung Amerika Serikat adalah negara yang terlibat aktif dalam mengatasi konflik keduanya. Namun hingga enam puluh tahun lebih konflik berjalan dan juga terdapat keterlibatan AS di dalam konflik, tidak semakin membuat konflik mereda dan justru pada masa kepemimpinan Donald Trump, konflik Israel-Palestina semakin menemui jalan buntu. Terdapat argumentasi bahwa kedekatan AS dengan Israel yang menjadi penghambat bagi AS untuk menjadi mediator yang netral dalam menengahi konflik. Selain itu juga hadirnya Donald Trump dengan kebijakannya yang ingin merelokasi Kedutaan Besar Israel di Jerusalem semakin memperparah konflik yang ada. Namun, terdapat kemungkinan lain bagi masa depan konflik ini yaitu di tangan negara-negara Arab Quartet yang terdiri dari Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab yang diharapkan akan mampu memecahkan konflik antara Israel dan Palestina.

Peran AS dan Kontradiksinya dalam Konflik Israel-Palestina

Sebagai negara superpower AS mampu menjadi mediator dalam mengatasi konflik Israel-Palestina, serta memiliki kekuatan untuk memaksa kedua belah pihak yang berkonflik mau untuk berunding dan bernegosiasi. Namun kenyataannya konflik Israel-Palestine jauh dari kata selesai. Kedua belah pihak memperebutkan wilayah yang sama, lalu juga terdapat isu lain yang sulit untuk diselesaikan seperti isu Yerusalem, pengungsi dan keamanan.

Sulitnya konflik untuk diselesaikan tidak serta merta membuat AS berhenti memediasi konflik tersebut, sejak tahun 1987 AS merespon gerakan intifada dan memaksa kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi. Pada tahun 1991, dibawah Sekretaris James Baker berhasil mempertemukan pejabat Israel dengan pejabat PLO (Palestine Liberation Front) dalam Middle-East Peace Conference untuk mendiskusikan konflik yang terjadi. Lalu berbagai perundingan lainnya seperti Oslo Agreement, Camp David, dan Annapolis Conference tidak terlepas dari peran AS sebagai mediator.

Namun di sisi lain terdapat anomali bahwa AS memiliki hubungan special dengan Israel dan hal inilah yang merupakan penghambat dari keberhasilan proses mediasi yang dilakukan oleh AS untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina. Sejak kemenangan Israel pada perang enam hari tahun 1967, AS dibawah kepemimpinan Lyndon Johnson semakin memperkuat kerjasama keamanan dengan Israel. Hal ini berlanjut dibawah kepemimpinan Reagan yang pada tahun 1980 memberikan posisi kepada Israel sebagai negara aliansi di Timur Tengah. Sejak tahun 1970 hingga 2019, AS telah memveto 83 resolusi Dewan Keamanan PBB terkait dengan konflik Israel-Palestina. Sehingga hal ini membuat apa yang dilakukan AS dalam usaha menyelesaikan konflik Israel-Palestina semakin bertolak belakang karena hubungan special yang terjalin antara AS dan Israel.

Ditambah lagi pada masa kepemimpinan Donald Trump sangat terlihat kebijakan yang pro-Israel melalui pernyataan yang secara langsung memihak Israel serta adanya kebijakan pemindahan Kedutaan Besar Israel di Yerusalem. Kebijakan ini semakin membuat prospek terselesaikannya konflik antara Israel-Palestina memudar. Banyak sekali kritik yang dilayangkan kepada Trump terkait kebijakannya ini seperti Liga Arab, International Court of Justice, Uni Eropa dan lain sebagainya. Dalam polling Gallup International Association, public internasional sebesar 71% menolak kebijakan Trump tersebut. Sehingga keadaan sedemikian rupa semakin membuat AS sulit menjadi mediator untuk mencapai resolusi dalam konflik Israel-Palestina.

Dengan situasi yang seperti ini membuat adanya peluang peran dari negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Quartet (Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab) semakin terbuka. Namun kenyataannya saat ini negara-negara di Timur Tengah semakin memiliki kedekatan dengan Israel. Petinggi Arab Saudi, Mufi Abdulaziz al-Sheikh mengumumkan fatwa haram untuk membunuh orang Yahudi. Israel juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara teluk yang memiliki persamaan persepsi terkait dengan ancaman Iran. Sehingga di sini terlihat bahwa akan sulit berharap lebih kepada Arab Quartet untuk menjadi mediator dalam konflik Israel-Palestina. Dukungan yang ada kepada Palestina hanya sekedar berupa kecaman ketika rakyat Palestina mendapatkan perilaku kekerasan dari Israel.

Banyaknya kegagalan AS dalam menjadi mediator konflik Israel-Palestina menunjukkan bahwa AS memihak kepada Israel sehingga mediasi yang terjadi selalu gagal dan tidak efektif. AS perlu untuk menggeser pendekatannya dan mulai memberikan konsiderasi terhadap kebutuhan dan hak Palestina dalam proses perdamaian yang juga bisa memenuhi apa yang diinginkan oleh Israel. Selain itu juga di sisi lain meskipun Arab Quartet juga memiliki hubungan yang baik dengan Israel, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara di Timur Tengah mampu menjadi mediator dalam konflik ini. Ditambah lagi AS juga bisa mengajak Uni Eropa untuk mengatasi konflik Israel-Palestina dengan insentif bergabungnya kedua belah pihak ke dalam pasar tunggal Eropa. Apabila AS ingin tetap terlibat aktif dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina maka penting bagi AS untuk membuka peluang terhadap hadirnya aktor lain untuk menyelesaikan konflik ini.

Penulis: Fadhila Inas Pratiwi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://www.airitilibrary.com/Publication/alDetailedMesh?DocID=10274979-202007-202008210005-202008210005-57-107

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).