Direktur Eksekutif ICEL Paparkan Dampak Lingkungan dari Omnibus Law Cipta Kerja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Raynaldo G. Sembiring atau yang lebih akrab disapa Dodo selaku Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL). (Dok. ICEL)

UNAIR NEWS – Kompleksitas dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang ramai dengan perdebatan pro kontra yang panas terletak pada metode penyusunan produk hukum yaitu dengan metode Omnibus Law. Metode ini membolehkan satu produk UU dapat merevisi lebih dari satu UU yang telah berlaku sebelumnya. Dalam kasus Omnibus Law Cipta Kerja, terhitung lebih dari 70 UU yang direvisi oleh produk hukum tersebut.

Tidak hanya sisi ketenagakerjaan, Omnibus Law Cipta Kerja juga merevisi banyak regulasi mengenai lingkungan hidup. Untuk menilik topik itu lebih lanjut, BEM FH UNAIR mengundang Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring dalam Webinar Krisis Demokrasi yang bertajuk “Menerka Arah Demokrasi di Indonesia: Masihkah Ia Berpihak Kepada Rakyat?” pada Minggu sore (18/10/2020).

Dodo, sapaan akrabnya, mengkritik bahwa sektor lingkungan dari Omnibus Law Cipta Kerja ini kaya akan problematika yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap implementasinya. Naskah akademik yang membarengi produk hukum ini juga dinilai olehnya sebagai salah satu naskah akademik terburuk karena tidak memberikan penjelasan yang komprehensif terkait alasan mengapa Omnibus Law Cipta Kerja ini harus eksis.

“Padahal fungsi dari eksistensi naskah akademik sendiri adalah untuk memberikan penjelasan yang saintifik mengenai kenapa pihak DPR ingin mengesahkan suatu UU tertentu. Apabila kita masuk ke dalam substansi, naskah akademik ini juga tidak menjawab problema terkait lingkungan hidup yang ada sekarang ini, khususnya terkait perlindungan dan pengelolaannya,” papar alumni Universitas Indonesia itu.

Omnibus Law Cipta Kerja merivisi tidak sedikit regulasi yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup (UULH) dan menurut Dodo terdapat beberapa problema dalam revisi tersebut. Contoh yang disinggung oleh pakar hukum lingkungan itu adalah dihapusnya Komisi Penilai Amdal dan diganti oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat dalam menerbitkan dokumen amdal (analisis dampak lingkungan). Ia menjelaskan bahwa problemanya adalah bahwa dalam Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat ini, unsur partisipasi masyarakat dihilangkan.

“Mengapa kita perlu dokumen amdal dalam suatu penyelenggaraan usaha adalah sebagai dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Tentu saja kita perlu partisipasi masyarakat dalam pengeluaran keputusan ini karena mereka adalah orang yang dapat merasa dampak negatifnya apabila usaha ini merusak lingkungan hidup. Dengan menghapus partisipasi masyarakat dalam penerbitan dokumen amdal, maka potensi pelanggaran hak lingkungan masyarakat akan semakin besar dan amdal yang dikeluarkan akan menjadi amdal yang sangat lemah,” ujar anggota PERADI itu.

Problema Omnibus Law Cipta Kerja lain yang disebutkan oleh Dodo adalah ketidakpastian dalam pemenuhan akses menuju keadilan (access to justice). Ia memaparkan bahwa dalam UULH, persetujuan lingkungan dan amdal yang dikeluarkan untuk suatu usaha dapat digugat oleh masyarakat melalui pengadilan tata usaha negara.

“Bahkan kegiatan ilegal tanpa izin yang dilakukan oleh suatu usaha seperti pengelolaan limbah B3 yang sangat berbahaya itu tidak lagi dikenakan pidana, hanya sanksi adminsitratif saja. Justru apabila suatu kegiatan usaha tersebut memiliki izin dan mereka melakukan kesalahan dalam misalnya pengelolaan limbah B3, itu justru dikenakan pidana. Ini merupakan hal yang sangat aneh dan bisa menjadi modus yang baru dimana perusahaan akan enggan untuk mendapatkan izin dalam berusaha,” tutur Dodo.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).