Potret Kebijakan Pasar Tenaga Kerja Asing di ASEAN +3 : Perspektif Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi tenaga kerja asing. (Sumber: https://pedomanbengkulu.com)

Pada tahun 1997 melalui KTT ASEAN +3 Indonesia melakukan kesepakatan kerjasama di bidang perdagangan, investasi, dan keuangan. Perjanjian tersebut memberikan dampak secara luas bagi indonesia yaitu :

  1. Indonesia harus menurunkan bea masuk atas barang impor sehingga mendorong peningkatan import di Indonesia.
  2. Indonesia akan menghadapi masuknya penanaman modal asing (Foreign Direct Invesment) dari negara ASEAN +3.
  3. Indonesia akan menghadapi masuknya tenaga kerja asing yang berasal dari negara ASEAN +3.

Dampaknya, secara empiris tenaga kerja asing dari China mendominasi industri tenaga kerja Indonesia dimana menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terdapat sebesar 21.271 dari total 74,183 tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia berasal dari China.

Pada periode Januari hingga November 2016, jumlah TKA asal China mengalami peningkatan sebesar 21,44% dari akhir tahun 2015 meskipun sebelumnya tren TKA di Indonesia sempat sedikit menurun pada tahun 2015 karena tertundanya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Selain tenaga kerja asing legal, Indonesia juga mengalami kendala dalam memantau tenaga kerja asing tersebut masuk secara ilegal.

Berdasarkan temuan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selama tahun 2016 sebanyak  800 TKA yang sebagian berasal dari China, meski realitas di lapangan seharusnya jauh lebih tinggi. Ketidakstabilan dalam evaluasi statistik dan ketidakcukupan informasi dan data inilah yang mendorong kurangnya sistem kendali terhadap TKA di Indonesia sehingga diperlukan evaluasi kebijakan hingga sistem kontrol yang komprehensif terkait dengan Pasar TKA di Indonesia untuk merespon dampak dari masuknya TKA secara ilegal serta trade-off antar tenaga kerja lokal mengacu pada masalah tingkat pengangguran yang tinggi di Indonesia, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya angka transaksi perdagangan antara Indonesia dan China serta besarnya bantuan dan kerja sama kedua negara tersebut menyebabkan peningkatan jumlah tenaga kerja asing berasal dari china yang mendominasi di Indonesia.

Secara teori, perdagangan bebas dapat memberikan keuntungan ekonomi dan mengurangi biaya transaksi. Adanya perdagangan bebas dapat membuka akses pasar barang dan jasa yang lebih luas serta pemenuhan bahan baku dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Manfaat perdagangan bebas ini akan semakin meningkat jika daya saing industri dan sumber daya manusia dalam negeri jauh lebih tinggi karena menghasilkan beban biaya yang lebih murah daripada menggunakan sumber daya manusia dan bahan baku yang berasal dari luar negeri. Banyaknya arus modal asing masuk di Indonesia yang menyebabkan pemanfaatan masuknya tenaga kerja asing di Indonesia. Hal ini ditandai dengan jumlah TKA di Indonesia yang didominasi oleh TKA profesional, dimana mencapai 31% dari total tenaga kerja asing pada tahun 2016 yang terdiri dari 2.568 direktur dan 408 komisaris dari luar negeri.

Untuk mencermati hal tersebut, terdapat asumsi berupa model ekuilibrium pasar tenaga kerja kompetitif yang dibangun melalui landasan bahwa pekerja akan terus mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dan perusahaan akan mencari pekerja dengan gaji yang lebih rendah. Titik ekuilibrium dihitung berdasarkan nilai produk marjinal yang dihasilkan oleh angkatan kerja. Nilai ini akan meningkat hingga nilai produk marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Apabila mencapai kondisi pada titik tersebut maka alokasi kerja dan perusahaan menjadi lebih efektif dan tidak ada cara lain untuk meningkatkan kontribusi nilai tenaga kerja terhadap pendapatan nasional.

Namun pada kenyataannya di lapangan, pasar kerja tidak selalu berfungsi sesuai dengan asumsi model diatas. Pekerja seringkali tidak menyadari nilai (value) dari keterampilan dan kemampuan mereka sendiri serta kurangnya informasi tentang peluang kerja di pasar tenaga kerja. Dari sisi perusahaan juga sangat jarang terdapat informasi mengenai data tingkat produktivitas tenaga kerja yang mereka pekerjakan secara aktual. Artinya bahwa akses atas informasi dan data merupakan suatu hal yang penting dalam pengambilan keputusan kebijakan atas pasar tenaga kerja di Indonesia.

Migrasi tenaga kerja ke luar negeri biasanya dilakukan oleh tenaga kerja yang memiliki keterampilan atau pendidikan yang lebih tinggi dimana dasar dari argumen tersebut didasarkan atas kerangka teori migrasi neoklasik yang berpandangan bahwa terdapat perbedaan upah riil antar negara yang dapat menjadi alasan seseorang bermigrasi. Di negara berkembang, tenaga kerja dengan pendidikan yang tinggi secara formal memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bekerja di sektor non-pertanian, kecenderungan mereka lebih mencari dan terlibat dalam sektor-sektor yang memberikan upah tertinggi.

Dalam tinjauan hukum yang secara historis mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Kerja Asing, yang mengatur tentang ketentuan khusus Tenaga Kerja Asing secara umum mengaskan bahwa TKA hanya boleh menduduki jabatan yang tidak dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia. Dengan kata lain, undang-undang ini mewajibkan tenaga kerja Indonesia menempati seluas-luasnya bidang pekerjaan, dan jika tenaga kerja lokal tersebut tidak memadai, TKA dapat dipekerjakan. Namun, TKA yang diberi izin bekerja di wilayah Indonesia dibatas dan diawasi melalui instrumen perizinan yang melibatkan lembaga pengawas dan beberapa instansi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958.

Seiring berjalannya waktu, masuknya era perdagangan bebas dan globalisasi memunculkan blok-blok perdagangan di tingkat regional yang ditandai dengan kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Hal ini kemudian menciptakan perdagangan yang tidak dibatasi antar negara. Selain itu, dari sektor perdagangan juga berdampak pada sektor dunia kerja, yang karena itu dibentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) serta UU No. 14 Tahun 1969 dimana undang-undang tersebut mengatur soal penempatan TKA menjadi satu peraturan tunggal yang dilandasi oleh masalah transfer teknologi, migrasi tenaga kerja, serta pendampingan dan pelatihan kerja yang dibutuhkan untuk memanfaatkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia tenaga kerja Indonesia atas respon perkembangan teknologi yang terus berkembang.

Pada tahun 2005 Undang-Undang ketenagakerjaan dan regulasi TKA telah mengalami beberapa kali perubahan, namun substansi hukum yang berkaitan dengan lembaga perizinan dan pengawasan serta penempatan tenaga kerja asing yang dilakukan lembaga tersebut tetap dipertahankan. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang efektif dan komprehensif antar lembaga termasuk insitusi bidang imigrasi dan ketanagakerjaan, kejaksaan agung, kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah.

Sebuah hal yang dilematis apabila pemanfaatan TKA di Indonesia tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat Indonesia dan peningkatan daya saing ekonomi. Karena jika dilakukan pemanfaatan lebih lanjut terkait dengan TKA di Indonesia oleh pihak yang berkepentingan maka dapat memberikan percepatan alih teknologi (technological transfer) sehingga membentuk sumber daya manusia di Indonesia yang ahli dan unggul dalam bidang teknologi serta diberlakukannya penanaman modal asing dapat meningkatkan investasi masuk sehingga membuka dan menumbuhkan sektor lapangan kerja baru. (*)

Penulis: Ahmad Rizki Sridadi

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini:

https://www.ijicc.net/index.php/volume-10-2019/149-vol-10-iss-11

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).