Konsumsi Barang Mewah Sebuah Kebutuhan? Berikut Alasan dan Peran Self-Congruity dan Attitude

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi permintaan masyarakat akan barang mewah. (Sumber: http://en.people.cn/)

Negeri dan orang-orang di Asia sangat beragam. Tapi, ada satu kesamaan yang kita miliki yaitu kecintaan terhadap gaya atau tren fashion mewah yang luar biasa. Bukan hanya itu, tapi pengeluaran yang tinggi untuk pakaian dan aksesories. Namun, ada beberapa fakta menarik yang mungkin kita belum ketahui. Dalam beberapa dekade terakhir, pandangan dunia telah berubah tentang cara pandang mereka terhadap orang Asia dari konserfatif dan tradisional menjadi lebih bergaya modern ke-eropa-an. Ambil saja sebagai contoh Korea Selatan, yang mulai mengenal fashion dengan trend K-POP, pakaian cerah, kecantikan, dan lainnya menjadi popular di Korea Selatan dan mereka dianggap mampu menjadi trendsetter dunia. Bahkan, Korea selatan, Jepang, dan China diprediksi akan menjadi pusat ilmu pengetahuan, inovasi dan teknologi dunia.

Selama manusia hidup, kegiatan utama yang tidak akan pernah hilang salah satunya adalah konsumsi. Saat ini, aktivitas berbelanja tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi gaya hidup. Kegiatan berbelanja dianggap bisa meningkatkan prestige bagi penggunanya. Pemasar mencoba menciptakan berbagai rangsangan agar konsumen mendapatkan kenyamanan saat berbelanja. Fashionable lifestyle merupakan gaya hidup yang berorientasi pada konsumen yang senang bersosialisasi, penuh keceriaan, semangat, suka menjadi trendsetter, ekspresif, dan mengikuti tren produk terbaru (Michon et al., 2010; Krishnan, 2011).

Menurut laporan bank asal Swiss, Julius Baer pada 2018 konsumsi barang-barang mewah dunia semakin meningkat. Terutama dari kawasan Asia, khususnya China yang didominasi oleh wanita. Saat ini, China mampu mengalahkan Jepang, di mana perempuan di China semakin menjadi jutawan dan banyak bekerja di tingkat eksekutif. Setidaknya 31 persen dari posisi manajemen dan eksekutif di China dipegang oleh wanita pada 2017. Konsumen ini percaya bahwa barang semacam itu membantu menaikkan status sosial dan mengangkat karir mereka (Akurat.co, 2019).

Di Jepang berbeda lagi, sekitar 90 persen wanita memliki tas Gucci atau Luis Vuitton asli yang hanya mereka pakai untuk suatu acara special. Untuk acara berikutnya, mereka akan membeli tas baru dengan merek lain misalnya Prada. Jadi, Ketika suatu merek mewah membuka gerai mereka di Jepang, maka mereka akan menyerbu gerai tersebut karena menginginkan barang yang baru, mewah dan mengagumkan. Mereka juga tidak keberatan jika harus menghabiskan banyak uang, bahkan harus memotong biasa bulanan dan tabungan mereka.

Pembelian barang bermerek dan mewah bagi beberapa orang dianggap sebagai cara untuk menunjukkan seberapa mapan kehidupan seseorang. Permintaan global akan barang-barang mewah kuat dan berkembang pesat, dengan penjualan tahunan lebih dari $ 200 miliar setiap tahun. Konsumen membeli barang-barang tersebut karena berbagai alasan, di antaranya karena menyampaikan rasa status, kekayaan, dan eksklusivitas. Pembelian ini membuat orang lain membuat kesimpulan cepat tentang karakter pembeli (misalnya, sukses, sombong, di antara banyak lainnya). Selanjutnya, menggunakan dan menampilkan produk mewah dapat menimbulkan berbagai perasaan di pihak pengguna.

Dalam proses pembelian, kita biasanya melalui tahapan yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian (Kotler, et al. 2016). Konsumen dengan gaya hidup modis, memiliki motivasi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen dengan orientasi gaya hidup lainnya. Sehingga, pemasar menciptakan produk atau jasa yang memiliki karakteristik serupa dengan citra diri konsumen tersebut. Dengan kata lain, produk mewah dapat memuaskan kebutuhan sosial seseorang dan dapat mencerminkan karakter dan status sosial penggunanya.

Seseorang akan memilih barang atau jasa yang memiliki kesesuaian dengan citra mereka (Schifman & Kanuk, 2010). Konsep diri merupakan bagian penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Di mana, kepribadian merupakan keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lainnya (Freud, 1923). Kepribadian juga meliputi gaya hidup seseorang, dan cara seseorang bereaksi terhadap masalah hidup termasuk tujuan hidup mereka (Adler, 1956).

Jadi, orang membeli barang mewah karena berbagai alasan; hampir semua alasan ini terkait dengan emosi yang kuat yang kita lampirkan pada pembelian produk yang mahal. Terlepas dari apakah konsumen berada dalam posisi keuangan yang memungkinkan mereka untuk dapat membeli barang mewah, mereka mungkin memutuskan untuk membelinya bagaimanapun juga untuk mencapai perasaan tertentu misalnya, perasaan pencapaian dari kerja keras, atau untuk dapatkan penerimaan dari orang lain.

Penulis: Sri Hartini

Artikel lengkapnya dapat diakses melalui link jurnal berikut ini:

https://www.scopus.com/record/display.uri?eid=2-s2.0-85074188749&origin=resultslist&sort=plf-f&src=s&st1=Hartini&st2=sri&nlo=1&nlr=20&nls=count-f&sid=3d73853199c84d6f20cbd40105a35aad&sot=anl&sdt=aut&sl=33&s=AU-ID%28%22Hartini%2c+Sri%22+57203394845%29&relpos=9&citeCnt=0&searchTerm=

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).