Bahas Gangguan Reproduksi Sapi, HMKH Sukses Laksanakan Webinar Nasional

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sesi foto bersama peserta Webinar Nasional HMKH PSDKU UNAIR Banyuwangi. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HMKH) Universitas Airlangga PSDKU di Banyuwangi melalui divisi Swine and Ruminant Care (SRC) pada Sabtu (26/9), mengadakan Webinar Nasional bertajuk “Manajemen Penanganan Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi dalam Sistem Pemeliharaan Konvensional”. Kegiatan itu mengundang pakar yang ahli di bidangnya yaitu Dr. Abdul Samik, drh., M.Si.

Indonesia pada setiap tahunnya selalu berupaya untuk meningkatkan jumlah populasi ternak sapi khususnya ternak sapi potong. Dalam ekspektasinya, dengan luas wilayah Indonesia yang sangat memadai seharusnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging nasional. Namun kenyataan yang ada, dalam kurun beberapa tahun terakhir Indonesia masih saja melakukan impor daging.

Problematika peternakan sapi yang berbasis peternakan rakyat memiliki ciri-ciri diantaranyayaitu skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi peternakan yang tidak terkonsentrasi serta belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Disamping hal tersebut, usaha peternakan rakyat tidak jarang mengalami gangguan reproduksi yang berakibat terhadap semakin melambatnya pertambahan jumlah populasi.

Diawal pemaparannya, dokter Samik menyampaikan bahwa gangguan reproduksi dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana fungsi reproduksi hewan jantan atau betina terganggu sementara sehingga berdampak pada menurunnya efisien reproduksi.

“Gangguan reproduksi pada sapi betina dapat diakibatkan oleh penyakit Infesius maupun noninfeksius. Dimana penyakit infeksi dapat berupa infeksi spesifik atau non spesifik,” ujar dokter Samik.

Selain itu, tambahnya, genetik dan manajemenserta lingkungan merupakan faktor yang tidak dapat dipandang sebelah mata oleh peternak. Beberapa gangguan reproduksi pada sapi betina selalu berkorelasi dengan tiga faktor tersebut.

“Beberapa variabel efisiensi reproduksi yang perlu diketahui oleh peternak terkhusus bagi dokter hewan praktisi di lapangan yaituConception Rate (CR), Service per Conception (S/C), Calving Rate (CvR), Days Open (DO), Calving Interval (CI) dan StatusFertilitas (SF),” papar dokter Samik.

Proses awal reproduksi betina selalu diawali dengan birahi atau estrus, dimana proses tersebut dipicu oleh fungsi hormonal. Gangguan fungsi hormonal akan menjadi tolak ukur sebagai gangguan awal reproduksi.

Kejadian di lapanganseperti anestrus, infertilitas,kematian embrio, abortus, mumifikasi ataupun stilbirth (kematian pedet), semuanya disebabkan oleh faktor hormonal. Penting sekali bagi para dokter hewan untuk mengetahui dasar endokrinologi reproduksi.

“Agar fungsi hormonal sapi betina selalu dalam kondisi baik, perlu bagi peternak untuk mencukupi segala kebutuhan nutrisi serta mengurangi faktor yang dapat menurunkan fungsi reproduksi sapinya,” tandas dokter Samik.

Dokter hewan sebagai medis veteriner, sambungnya, perlu melakukan identifikasi serta evaluasi gangguan reproduksi agar kejadian di lapangan dapat ditekan seminimal mungkin.

“Dokter hewan juga harus melakukan pengobatan secara rasional sehingga diharapkan fungsi reproduksi sapi yang mengalami gangguan teratasi,” pungkasnya (*)

Penulis: Muhammad Suryadiningrat

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).