Guru Besar UNAIR Tuturkan Urgensi Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Perguruan Tinggi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Guru Besar Sosiologi Gender UNAIR Prof. Dr. Emy Susanti, Dra., MA. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Kementerian Pergerakan dan Kesetaraan Gender (KPKG)dan Kementerian Politik dan Kajian Strategis (Polstrat) BEM FISIP UNAIR berkolaborasi untuk mengadakan Diskusi Merdeka dengan tajuk “Merdeka dari Segala Bentuk Kekerasan Seksual” pada Senin malam (7/9/2020). Mengundang Prof. Dr. Emy Susanti, Dra., MA. sebagai narasumber, diskusi itu menyelipkan harapan terhadap suatu lingkungan perguruan tinggi yang lebih peka terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender

Prof. Emy membuka materinya dengan menjelaskan bahwa kekerasan seksual itu berbeda dengan kekerasan berbasis gender, dimana kekerasan seksual merupakan salah satu jenis dari kekerasan berbasis gender. Hal ini dikarenakan bahwa seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Ia menambahkan bahwa seks sifatnya biologis dan tetap, sedangkan gender sifatnya psikologis dan dapat berubah (fluid). Hubungan antara sifat-sifat dua jenis kelamin ini disebut dengan relasi gender

“Seks lebih mengarah terhadap jenis kelamin yang dimiliki seseorang, yaitu laki-laki dan perempuan, dan itu merupakan sebuah kodrat yang tidak bisa diubah oleh manusia. Sedangkan gender itu lebih ke sifat dan peran umum dari seks tersebut, dimana laki-laki bersifat maskulin dan perempuan sifatnya feminism. Perlu digarisbawahi bahwa sifat dan peran tersebut dapat digantikan dan bukan merupakan kodrat dari jenis kelamin tersebut,” tutur Guru Besar Sosiologi Gender itu

Kembali kepada kekerasan berbasis gender, Prof. Emy mendefinisikannya sebagai berbagai bentuk kekerasan yang ditujukan terhadap suatu individu berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender mereka. Alumni Flinders University itu menjelaskan bahwa konsep hakikat dari kekerasan berbasis gender merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sangat meluas dan upaya penghapusannya diperlukan terlibatnya kekuatan sosial, politik, dan ekonomi melalui institusi di semua tingkatnya.

“Perlu diketahui bahwa kekerasan berbasis gender ini mengakar dari relasi gender yang tidak setara. Pemahaman bahwa gender dari suatu jenis kelamin masih sangat kaku, seperti laki-laki harus maskulin dan gagah, dimana perempuan harus anggun dan menurut apa yang dikatakan oleh laki-laki. Budaya-budaya seperti itulah yang menjadi salah satu faktor langgengnya kekerasan berbasis gender ini,” ujar Ketua Pusat Studi Gender dan Inklusi Sosial UNAIR itu

Masuk ke dalam ranah perguruan tinggi, Prof. Emy menuturkan bahwa kekerasan berbasis gender seringkali berujung tidak diungkap karena ditutupi dengan dalih “nama baik kampus”. Ia menambahkan institusi pendidikan juga sering enggan mengurus kasus seperti ini karena menganggap bahwa itu merupakan urusan pribadi antara pelaku dan korban

“Namun realitanya adalah bahwabelum semua perguruan tinggi di Indonesiamemiliki kebijakan terkait keadilan gender dan inklusi sosial. Aturan terkait kekerasan berbasis gender masih sangat berpusat terhadap pelaku saja, namun penanganan terkait korbannya masih belum diberi bantuan ataupun solusi,” kesah Prof. Emy

Prof. Emy menutup materinya dengan mengharapkan agar peraturan perundang-undangan yang berfokus pada penghapusan kekerasan seksual seperti RUU PKS agar segera disahkan demi terwujudnya perlindungan korban dari jenis pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mendukung agar Rancangan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Pendidikan Tinggi agar segera disahkan.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).