Deteksi Infeksi Rubella dengan PCR dan Tes Serologi pada Kasus Diduga CRS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kumparan.com

Infeksi rubella atau biasa disebut cacar jerman umumnya ditemui pada usia anak-anak hingga remaja. Infeksi ini gejalanya cenderung ringan namun mudah menular. Biasanya pasien mengalami ruam, demam, mual, dan terjadi peradangan pada konjungtiva (lapisan tipis di mata). Walaupun, gejalanya cenderung ringan namun rubella dapat menjadi masalah besar bagi ibu hamil. Peluang ibu hamil di trimester pertama menularkan virus rubella pada janin sekitar 90%. Apakah yang dapat terjadi jika janin terinfeksi rubella (terutama di trimester pertama)? Suatu studi mengungkapkan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan keguguran janin, kematian pada janin, dan bayi lahir mati. Selain itu, bayi yang dilahirkan selamat juga dapat mengalami Congenital Rubella Syndrome (CRS).  

Lalu, apakah itu CRS? CRS adalah suatu kumpulan gejala yang terdiri dari beberapa kelainan bawaan. Kelainan bawaan yang dapat muncul adalah, ketulian, katarak, gangguan jantung, gangguan saraf, autisme dan berbagai macam kelainan lainnya. Diantara semua kelainan yang disebutkan sebelumnya, ketulian adalah kelainan yang paling umum (sekitar 70% hingga 90%) ditemui pada bayi dengan CRS. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana bisa CRS menyebabkan ketulian pada janin? Mekanisme ketulian akibat virus rubela dapat diakibatkan oleh hipoksia (kekurangan oksigen dalam sel dan jaringan tubuh), yang terjadi saat kerusakan endotel di koklea (rumah siput) dan diikuti oleh kematian sel rambut di organ corti (organ yang berfungsi untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf) dan stria vaskularis. Sehingga berdasarkan mekanisme diatas, sel rambut yang telah mati di organ corti tentunya berkurang jumlahnya sehingga fungsinya dalam menangkap bunyi tidak dapat berjalan dengan baik. 

Hal yang perlu diwaspadai pula, bayi dengan CRS kemungkinan besar juga terinfeksi rubella dan dapat menularkannya kepada orang lain. Penularan oleh bayi dengan CRS dapat terjadi hingga bayi menginjak umur satu tahun. Bayangkan saja, jika seorang ibu hamil di trimester pertama berada didekat bayi dengan CRS yang terinfeksi rubella, hingga akhirnya ibu tersebut ikut terinfeksi, maka besar peluang bayi yang dilahirkan menderita CRS. Masalah ini tentunya memiliki pengaruh sangat besar di bidang kesehatan masyarakat maupun sosial. Oleh, karenanya rantai penularan virus ini harus diputuskan. Salah satunya adalah dengan cara mendeteksi dengan cepat bayi baru lahir dengan CRS. Setelahnya, infeksi rubella juga perlu diperiksakan pada bayi. Jika bayi dengan CRS tersebut mengalami infeksi rubella, maka prosedur isolasi dapat dipertimbangkan. Hal ini dilakukan sebagai langkah pencegahan untuk orang disekitar agar tidak terpapar infeksi rubella (terutama ibu hamil).

Salah satu contoh kasusnya, dilaporkan sebuah kasus diduga CRS, bayi berusia 2 bulan dengan respon terhadap suara sekitar yang kurang baik. Sebelumnya, pasien telah diperiksakan matanya dan hasilnya pasien menderita katarak. Riwayat prenatal (sebelum lahir) dan postnatal (setelah lahir) dievaluasi oleh tim dokter. Kasus diatas membuat peneliti dari Departemen Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher (THT-KL) di RSUD Dr. Soetomo tertarik mendalaminya.  Penggunaan PCR dan tes serologi untuk mengkonfirmasi infeksi rubella pada pasien CRS dengan ketulian, dapat diangkat dalam penelitian ilmiah ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Peneliti, Sabrina Izzattisselim, dr. dan dosen pembimbing beliau, Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), FICS, FISCM, menjelaskan bahwa pasien tersebut diperiksa sesuai tatalakasana pasien pada umumnya.

Pasien diambil sampelnya, dicatat, dan dilaporkan hasilnya. Pemeriksaan untuk menentukan apakah masih terdapat infeksi rubella, menggunakan sampel dari usap tengorok dan lensa mata yang diambil saat pasien berumur 2 bulan. Tes serologi (IgG dan IgM) dari darah pasien juga dilakukan sesuai algoritma pada saat pasien berumur kurang dari 1 bulan, 4 ke 6 bulan, dan 8 ke 12 bulan. Saat usia 2 bulan, pasien juga telah dilakukan skrining pada telinga dan tidak ditemukan kelainan pada daun telinga, lobang telinga dan gendang telinga. Hingga akhirnya, skrining pendengaran pada pasien juga dilakukan dengan tes OAE (Biologis), dan AABR (Beraphone) pada usia pasien 3 bulan. Hasil skrining pendengaran menunjukkan terdapat gangguan pendengaran tipe sensorineural pada pasien. 

Hasil pada tes serologi menunjukkan IgG rubella positif  pada saat usia pasien kurang dari 1 bulan. Pada saat usia pasien 4 sampai 6 bulan, didapatkan hasil IgG negatif (kemungkian besar pasien tidak memiliki infeksi akut rubella). Sampel usap tenggorokan dan lensa mata, yang diambil saat pasien berumur 2 bulan, diperiksa menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil juga menunjukkan bahwa pasien positif rubella. Deteksi virus rubela pada penderita CRS dengan ketulian pada kedua telinga memiliki hasil positif dengan menggunakan metode PCR dan serologi. Penggunaan PCR dan tes serologi diharapkan dapat mencegah penularan infeksi rubella dari bayi yang diduga CRS. Selain itu, peneliti juga berharap dapat dikembangkan penelitian menggunakan PCR untuk mendeteksi janin dengan CRS sehingga dapat menjadi langkah preventif sebelum bayi lahir.

Penulis: Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), FICS, FISCM

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat dari tulisan kami di: Polymerase Chain Reaction and Serology Test to Detect Rubella Virus in Congenital Rubella Syndrome Patients with Hearing Loss https://e-journal.unair.ac.id/IJTID/article/view/8735

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).