Perdagangan Manusia dalam Persepsi Masyarakat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Radar Bogor

Perdagangan manusia telah menjadi ancaman serius bagi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kian hari angka korban perdagangan manusia tercatat semakin bertambah, sehingga fenomena ini menjadi penting untuk dipahahi masyarakat dan menjadi fokus permasalahan yang harus segera dituntaskan oleh pihak berwajib. Kewaspadaan seluruh lapisan masyarakat dalam mengenali topeng perdagangan manusia perlu ditingkatkan demi menekan angka korban trafficking di Indonesia yang masih sulit dikendalikan. Sebagian besar responden (65,24%) mendapat informasi tentang perdagangan manusia melalui televisi yaitu acara berita dan tayangan sinetron. Responden pun sebagian besar mengetahui bahwa jenis dari perdagangan manusia adalah prostitusi, padahal ada yang lain. Hal seperti ini rawan menyebabkan terjadinya perdagangan manusia yang tidak dapat tercegah karena ketidaktahuan masyarakat.

Perdagangan manusia dapat terjadi pada siapapun, baik perempuan, anak-anak, dan bahkan laki-laki. Diluar dugaan kita, Indonesia rupanya merupakan negara yang aktif untuk perdagangan pekerja migran laki-laki, perempuan, dan anak, serta memberikan kontribusi besar bagi pekerja migran tidak berdokumen di kawasan Asia Tenggara. Namun, apa sebenarnya perdagangan manusia itu?

Mengenal Perdagangan Manusia

Dalam UU No. 21 tahun 2007, definisi dari perdagangan manusia adalah sebagai tindakan perekrutan, transportasi, perlindungan, pemindahan atau penerimaan orang-orang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penangkapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau manfaat, sehingga untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang mengendalikan orang lain, baik yang dilakukan di dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan eksploitasi orang. Bentuk-bentuk perdagangan manusia yang sering dijumpai adalah pelacuran dan eksploitasi seksual, termasuk eksploitasi seksual anak (pedofilia); menjadi pekerja migran, baik legal maupun ilegal; adopsi anak-anak; pekerja jermal; pekerja rumah tangga; pengemis mereka yang ada di industri pornografi; distribusi obat; perdagangan organ; sebagai penari, pengantin wanita asing; serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Dalam sejarah perkembangan kejahatan, perdagangan perempuan dan anak-anak termasuk dalam kejahatan terorganisir bahkan melibatkan kejahatan transnasional terorganisir. Jika kejahatan perdagangan manusia sudah transnasional, maka mitigasi juga harus transnasional dalam bentuk kerja sama komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan multilateral), baik preventif maupun represif. Masalah-masalah kompleks dalam fenomena perdagangan manusia menyebabkan banyak korban mengalami trauma atau bahkan gangguan stres pasca-trauma. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang selamat dari perdagangan manusia melaporkan gejala kecemasan dan depresi berikut: kegelisahan atau kegoncangan di dalam (91%), teror / mantra panik (61%), ketakutan (85%), perasaan tertekan atau sangat sedih (95%), dan keputusasaan tentang masa depan (76%). Selain itu, individu dengan riwayat traumatis pelecehan fisik dan/atau seksual juga ditemukan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk pengembangan gangguan disosiatif.

Basis-Basis yang Perlu Diwaspadai

Data dari International Organization Migration (IOM) menunjukkan bahwa sejak 2005 hingga 2017 ada 8876 korban yang dirujuk ke IOM, 52% diperdagangkan ke luar negeri dan 47% diperdagangkan di dalam negeri. Berdasarkan data tersebut, IOM memetakan asal-usul para korban dan diperoleh peringkat pertama adalah Provinsi Kalimantan Barat, diikuti oleh Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Rosenberg menyatakan bahwa Jawa Timur adalah salah satu kantong kasus perdagangan manusia di Indonesia. Jawa Timur adalah daerah pengirim, penerima dan transit untuk perdagangan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di lima kecamatan di Jawa Timur yaitu di Gempol (Pasuruan), Karang Binangun (Lamongan), Papar (Kediri), Nglegok (Blitar), dan Donomulyo (Malang), menggunakan metode survei dan FGD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65,24%) mendapat informasi tentang perdagangan manusia melalui televisi yaitu acara berita dan tayangan sinetron. Responden pun hanya mengetahui bahwa jenis dari perdagangan manusia adalah prostitusi (41,13%). Pemahaman masyarakat terhadap perdagangan manusia juga cukup beragam, di antaranya pemahaman bahwa perdagangan manusia adalah aktivitas jual beli manusia disertai kekerasan/perlakuan buruk (18,44%), aktivitas jual beli manusia saja (17,73%), pemaksaan (12,76%), dan prostitusi (12,06%). Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang selama ini tidak mengetahui tentang bentuk dari perdagangan manusia. Bentuk-bentuk dari perdagangan manusia tidak hanya prostitusi dan perdagangan tenaga kerja saja, melainkan juga perbudakan manusia, kerja paksa anak di bawah umur, pekerja migran yang ilegal, bahkan perdagangan organ.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar responden yang menemui kasus perdagangan manusia di lingkungan sekitar akan langsung melapor kepada penegak hukum (40,42%), dan beberapa dari mereka memilih untuk memberikan dukungan seperti merangkul (18,44%), memberikan pemahaman (9,22%), dan memotivasi (2,13%). Apakah penegak hukum akan membantu masalah ini? Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang bertujuan untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia, yaitu UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak-anak berhak mendapat perlindungan dari semua pihak, termasuk pemerintah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden (24,82%) yang menjadi korban dari perdagangan manusia lebih banyak memilih untuk langsung melaporkan kepada penegak hukum, disertai dengan tanggapan lain seperti melarikan diri (22,70%), menolak (17,02%), dan semakin mendekatkan diri pada Tuhan (12,06%). Tentunya cara-cara tersebut sangat perlu dilakukan karena perdagangan manusia merupakan kejahatan yang memerlukan bantuan aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Namun demikian, awal dari pencegahan tersebut idealnya adalah dari masyarakat yang mengetahui dan kemudian berusaha mencegahnya.

Penulis: Ike Herdiana, Mein Woei Suen, Myrtati D. Artaria

Link terkait tulisan di atas: https://www.collantropol.hr/antropo/article/view/1749

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).