Alumni UNAIR Raih Penghargaan dari MURI sebagai Doktor Termuda Indonesia Bidang Ilmu Kedokteran

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Satria Arief Prabowo, PhD (kanan) ketika menerima penghargaan sebagai Doktor Termuda Indonesia di Bidang Ilmu Kedokteran oleh MURI secara langsung dari Jaya Suprana (kiri). (Foto : Istimewa)

UNAIR NEWS – Menyelesaikan studi Doktoral pada usia 25 tahun membuat Dr. H. Satria Arief Prabowo, MD.PhD (Satria) meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Dokter Termuda Indonesia. Penghargaan dokter termuda bidang Ilmu Kedokteran itu ia raih pada tahun 2019 lalu. Penghargaan tersebut diterima Satria secara langsung dari Jaya Suprana pada bulan Oktober 2019 di Roma, Italia.

Sebelumnya, Satria memulai S1 Pendidikan Dokter di Universitas Airlangga (UNAIR) pada usia 15 tahun. Selama masih menempuh pendidikan di UNAIR, pada tahun 2012 Satria berkesempatan mengikuti pelatihan penelitiandi University Medical Center Groningen (UMCG), Belanda. Kemudian, Satria melanjutkan studi Doktoral di London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM)  pada tahun 2014 dan lulus pada tahun 2018.

“Untuk meraih gelar Doktor di Inggris dan Eropa pada umumnya, yang dinilai adalah kualitas riset dan capaian publikasi ilmiah,” jelas Satria.

Saat ini, Satria telah memiliki sebelas karya publikasi di jurnal internasional terindeks Pubmed dan Scopus. Salah satu penelitiannya adalah terkait pengembangan vanksin Tuberkulosis, yang juga merupakan kelanjutan dari risetnya saat menempuh pelatihan di Groningen, Belanda.

Saat itu, Satria masih berstatus sebagai mahasiswa S1 UNAIR dan belum lulus kedokteran namun telah berhasil mempublikasikan dua karya di jurnal internasional bereputasi. Karenanya, Prof. Tjip van Werf, pakar Tuberkulosis dan vaksinasi di Eropa, sekaligus pembimbing Satria saat di Belanda memberikan kepercayaan pada Satria untuk terlibat dalam konsorsium riset Eropa dalam pengembangan vaksin Tuberkulosis.

“Prof. Tjip juga yang memberikan rekomendasi kepada saya untuk langsung menempuh pogram Doktoral atau S3 di London setelah meraih gelar dokter tanpa harus menempuh studi S2 terlebih dahulu,” lanjutnya.

Selama di LSHTM, Inggris, Satria dibimbing oleh Prof. Helen Fletcher yang menjabat sebagai Director of Tuberculosis Centre diLSHTM. Satria mengaku banyak belajar dari kepakaran Prof Helen dan merasa senang karena bisa belajar dari banyak pakar di LSHTM, yang merupakan kampus nomor satu di Inggris, Eropa, dan dunia untuk studi bidang kedokteran tropis.

Satria juga menjadi bagian dari tim pengembangan vaksin Covid-19 yang dimulai sejak awal April 2020. Rencananya, vaksin tersebut akan dikembangkan dengan berbentuk tablet sehingga akan lebih efisien dan dapat diberikan kepada lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat dibanding dengan vaksin injeksi atau suntik.

Satria bersyukur tidak mendapati kendala yang signifikan selama menempuh studi doktor. Menurutnya, sudah hal pasti bahwa melaksanakan riset di bidang kesehatan dan kedokteran memerlukan tahapan yang tidak singkat, sehingga diperlukan kesabaran. Mengingat sebelum vaksin yang dikembangkan bisa diterapkan pada manusia, diperlukan uji coba beberapa kali pada hewan coba untuk mengetahui regimen yang optimal.

“Di samping itu, mengunjungi banyak negara di dunia telah membuka mata saya akan keberagaman sistem nilai, sosial, maupun budaya yang turut berpengaruh dalam perkembangan pelayanan kesehatan dan kemajuan riset di suatu negara,” terangnya.

Sebagai seorang dokter dan peneliti di bidang kesehatan, Satria berharap 100 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia sudah bisa duduk sejajar dengan negara-negara maju dalam bidang inovasi dan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Untuk itu, Satria berharap komitmen dari semua pihak untuk bersinergi dalam rangka mewujudkan visi besar tersebut.

“Saya bermimpi Indonesia nantinya dapat menjadi pusat riset penyakit tropis dan infeksi dunia, dan dapat mengirimkan kader terbaiknya untuk mendapatkan penghargaan hadiah Nobel yang selama ini masih didominasi oleh peneliti dari negara-negara maju,” pungkasnya. (*)

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).