Dilema Warga Keturunan Tionghoa dalam Pembangunan Negara-Bangsa Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi kegiatan warga etnis Tionghoa bersama kelompok etnis lainnya. (Sumber: Republika)

Sejak masa kolonial, diaspora China di Indonesia telah menghadapi permasalahan identitas kebangsaan dan kewarganegaraan. Selama pemerintahan Orde Baru (1996-1998), kebijakan asimilasi yang dikenakan kepada etnis Tionghoa menghadapkan mereka pada pilihan sangat sulit. Warga keturunan Tionghoa kesulitan melebur dengan komunitas etnis-etnis lain di Indonesia karena mereka seringkali dianggap bukan warga asli dan dituduh terlalu menguasai sektor ekonomi nasional.

Meskipun pemerintah Indonesia telah mencabut semua aturan diskriminatif, masalah baru muncul ketika warga keturunan Tionghoa terlibat dalam dunia politik. Inisiatif mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara-bangsa Indonesia kerap kali terbentur oleh hadangan persepsi publik yang menganggap mereka lebih loyal kepada tanah leluhurnya, China, daripada kepada Indonesia. Persepsi ini memicu dilema di kalangan warga keturunanTionghoa antara mengutamakan identitas nasional China atau kewarganegaraan Indonesia.

Di tengah arus pesat globalisasi, warga keturunan Tionghoa di Indonesia tetap berupaya mempertahankan identitas nasional dan kewarganegaraan tersebut secara bersamaan dengan membentuk identitas hibrida. Dalam identitas hibrida, tidak ada yang lebih unggul. Budaya Indonesia dan budaya China tidak dipertentangkan, melainkan dicampur sehingga warga keturunan Tionghoa tetap dapat mempertahankan kewarganegaraan Indonesia sambil terus melestraikan budaya China.

Tantangan

Pada masa Orde Baru, kecurigaan pemerintahan Presiden Soeharto terhadap keterlibatan Republik Rakyat China (RRC) dalam gerakan komunisme di Indonesia memicu pembekuan hubungan diplomatik kedua negara selama 23 tahun (1967-1990). Tetapi, perkembangan pesat ekonomi China menarik perhatian Jakarta sehingga pemerintah Indonesia melihat adanya peluang kerjasama di antara kedua negara. Setelah pulih dari krisis ekonomi 1998, Indonesia memandang China sebagai mitra penting. Di sisi lain, kekuatan ekonomi China yang semakin membesar menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola hubungan dengan etnis Tionghoa.

Tantangan itu mengemuka karena sebagian warga keturunan Tionghoa sepertinya memanfaatkan kebangkitan ekonomi China untuk meningkatkan ikatan etnisitasnya demi kepentingan ekonomi mereka. Globalisasi telah mempererat jejaring etnisitas lintas batas negara di kalangan warga Tionghoa. Dalam tingkat tertentu, globalisasi telah membuat warga keturunan Tionghoa di Indonesia lebih merasa sebagai warga negara China daripada Indonesia. Meskipun demikian, warga keturunan Tionghoa yang mengalami proses akulturasi tetap mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari Indonesia (Cheung, 2004).

Persoalannya, ada stigma di kalangan masyarakat bahwa warga keturunan Tiongoa merupakan komunitas eksklusif. Survei yang diadakan ISEAS-Yusof Ishak Institute menemukan fakta bahwa 46,6 persen responden menganggap warga keturunan Tionghoa masih memiliki loyalitas terhadap RRC. Temuan ini mengonfirmasi pernyataan Leo Suryadinata (2015) bahwa “… the Chinese are accepted as part of nations in countries where ethnic identity and national identity do not involve in conflict such as in Singapore and Thailand, but in Indonesia their loyalty is under question.”

Meskipun komunitas etnis Tionghoa telah berkontribusi pada pembentukan negara-bangsa Indonesia sejak masa kolonial, warga keturunan Tiongoa juga menyadari bahwa hal itu tidak begitu saja menghapus persepsi negatif yang mengendap dalam pikiran masyarakat. Untuk membuktikan loyalitasnya kepada Indonesia dan diakui sebagai bagian dari kewarganegaraan Indonesia, sebagian warga keturunan Tionghoa terjun ke dunia politik untuk mendapatkan kepercayaan publik atas kontribusinya terhadap Indonesia.

Identitas Hibrida

Mayoritas warga keturunan Tionghoa mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Indonesia. Mereka menyadari bahwa mereka perlu aktif berpolitik untuk memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa. Kesadaran berpolitik ini dimanifestasikan dalam bidang sosial-budaya dengan menerapkan pendekatan hibrida agar bisa diakui sebagai warga negara Indonesia sambil tetap menganut budaya Tionghoa.

Politik hibrida telah lama dipraktekkan oleh komunitas lokal dan imigran untuk mengonstruksikan identitas mereka (Hoon, 2006). Menurut Charles Coppel (2017), lebih dari 60 persen warga keturunan Tionghoa berbicara menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa China. Mereka bisa berbicara bahasa China sebagai bahasa ibunya, tetapi lebih memilih untuk tidak menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas Tionghoa Peranakan yang telah puluhan tahun tinggal di Indonesia berbicara menggunakan campuran bahasa China dan Melayu. Beberapa kata yang muncul dalam kombinasi dua bahasa ini di antaranya adalah teh, kecap, kue, tahu, dan soto. Hal ini bisa dikatakan sebagai transformasi etnisitas Tionghoa ke dalam identitas Tionghoa-Indonesia yang adaptif. Alih-alih menentang budaya lain, pendekatan ini telah membantu warga keturunan Tionghoa mengenalkan budaya Tionghoa ke kelompok etnis lain.

Selain itu, mereka juga menampakkan loyalitasnya terhadap Indonesia dengan memasukkan elemen lokal ke dalam budaya Tionghoa. Wayang potehi yang telah dipertunjukkan secara meluas dan disambut antusias oleh banyak orang ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Wayang ini merupakan budaya asli China yang berasal dari Hokkien dan dibawa diaspora China masuk ke Indonesia pada abad ke-18.

Setelah sempat dilarang pada masa Orde Baru, wayang potehi kini dibangkitkan kembali sebagai bukti kebebasan berekspresi warga Tionghoa. Melalui budaya hibrida semacam inilah, warga keturunan Tionghoa terus berupaya menegaskan identitas kewarganegaraan Indonesia sekaligus identitas etnisitas Tionghoa mereka dalam pluraliltas kehidupan masyarakat Indonesia. (*)

Penulis: A. Safril Mubah Selengkapnya lihat di

http://www.airitilibrary.com/Publication/alDetailedMesh?DocID=10274979-202001-202001170001-202001170001-55-101

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).