Hubungan Antara Dosis dan Durasi Paparan Cisplatindengan Efek Sitotoksisitas pada Sel Punca Karsinoma Nasofaring

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi cisplatin. (Sumber: alodokter)

Insiden Karsinoma Nasofaring (NPC) di Indonesia adalah 6,2 / 100.000 penduduk setiap tahun. Karsinoma Nasofaring merupakan peringkat ke-6 dari tumor ganas pada manusia setelah tumor ganas serviks, liver, payudara, paru, dan kulit. Menurut penelitian baik nasional maupun internasional, telah dilaporkan bahwa sebagian besar pasien NPC (80%) datang sudah dalam stadium lanjut III dan IV.

Selama lima dekade terakhir, penanganan NPC telah dilakukan terutama melalui kemoterapi dan radioterapi. Efek kerusakan yang disebabkan oleh kemoterapi disebut sitotoksisitas, dimana obat kemoterapi bekerja dengan menghambat mitosis sel dan terutama menargetkan sel dengan tingkat pembelahan tinggi.

Cisplatin adalah kemoterapi yang efektif, namun memiliki masalah terkait efek samping dan resistensi yang menjadi dua kendala utama dalam penerapannya. Mekanisme biokimia sitotoksisitas cisplatin mencakup korelasi antara target DNA dan non-DNA yang akan menginduksi kematian sel melalui apoptosis, nekrosis atau keduanya.

Indikator sitotoksisitas yang digunakan adalah EC50 (konsentrasi efektif sebesar 50) yang merupakan dosis / konsentrasi senyawa tertentu yang perlu menghasilkan efek sitotoksik kematian sel sebesar 50% dalam kultur sel in vitro. Indikator ini sering digunakan sebagai patokan sitotoksisitas sel eukariotik dalam kultur.

Evaluasi pasca-kemoterapi NPC menemukan bahwa sel kanker tersebut tidak memberikan respons terbaik dimana sebesar 60–70% menunjukkan respons parsial dan 15–25% unrespons. Kegagalan tersebut kemungkinan disebabkan oleh sebuah faktor resistensi yang merupakan komplikasi utama pada kemoterapi kanker dan berperan atas kegagalan dalam perawatan pasien kanker. Beberapa teori menduga penyebab resistensi adalah adanya stem sel kanker yang resisten/ resistant cancer stem cells (RCSC) terhadap kemo maupun radioterapi.

Penelitian yang mengkorelasikan peran RCSC terhadap cisplatin dan perkembangan dari berbagai keganasan telah dimuat dalam studi ca mammae. Pada studi tersebut dilaporkan bahwa kehadiran sel-sel tumor yang mengekspresikan karakteristik stem sel tumorigenik normal sebesar 5,9% dari seluruh populasi sel tumor. Populasi sel-sel ini secara signifikan meningkat menjadi rata-rata 8,8% pada transplantasi primer yang hanya merespons sebagian terhadap cisplatin, sementara di transplantasi tumor sekunder, populasi meningkat menjadi 22,8%.

Mekanisme adanya resistensi sel NPC terhadap kemoterapi cisplatin yang berkorelasi dengan adanya stem sel kanker masih belum dapat dibuktikan. Langkah pertama untuk memahami mekanisme tersebut yaitu dengan menjawab pertanyaan-apakah cisplatin mampu menghasilkan efek sitotoksik pada stem sel NPC. Dosis dan lama paparan yang dibutuhkan untuk menghilangkan stem sel NPC juga tidak diketahui karena dosis sitotoksisitas berbeda di tiap baris.

Penelitian in vitro tentang efek cisplatin pada DNA menunjukkan bahwa toksisitas cisplatin dipengaruhi oleh dosis, waktu/ dosis dan waktu paparan. Penelitian sebelumnya menyebutkan konsentrasi cisplatin tertentu diperlukan untuk membunuh 90% sel kanker. Studi lainnya melaporkan bahwa paparan cisplatin dalam 24 jam secara signifikan memberikan lebih banyak efek sitotoksik dibandingkan paparan pada durasi jam pertama.

Berdasarkan uraian ini, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap efek sitotoksik dari obat kemoterapi cisplatin pada stem sel NPC, dosisnya dan durasi yang dapat mempengaruhi mereka. Pendekatan tersebut bermanfaat untuk memahami bagaimana stem sel NPC memproses paparan cisplatin dan menentukan dosis serta durasi paparan cisplatin yang dapat memberikan efek sitotoksik pada stem sel NPC.

Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara peningkatan dosis cisplatin terkait efek sitotoksisitasnya terhadap peningkatan pola kematian stem sel NPC dibandingkan dengan kontrol. Bahkan, ada korelasi antara durasi paparan cisplatin dengan sitotoksisitas stem sel NPC. Jumlah sel yang mengalami kematian diukur setelah terpapar cisplatin selama 24 jam dan periode observasinya dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam.

Jumlah kematian sel yang tinggi diperoleh setelah observasi 24 jam dimana dosis cisplatin yang efektif menghasilkan efek sitotoksik pada stem sel NPC sebesar 1 μg pada durasi paparan 24 jam. Pada observasi 48 dan 72 jam juga juga didapatkan sel yang mati namun tidak setinggi pada observasi pasca-24 jam.

Pada populasi jaringan atau sel, apoptosis dan nekrosis merupakan dua mekanisme kematian sel yang ekstrem. Konsentrasi cisplatin rendah berkorelasi dengan kematian sel terkait apoptosis sedangkan dosis yang tinggi menyebabkan kematian sel akibat nekrosis. Apoptosis adalah respons terhadap stres seluler pada intensitas paparan di bawah ambang batas nekrotik. Dosis tinggi dari cisplatin mengakibatkan kerusakan sejumlah molekul yang terkait dengan penyediaan energi sel yaitu adenosin triphosphate (ATP) dan juga protein yang terlibat dalam proses apoptosis yang menyebabkan kematian sel secara nekrotik. Hal ini dibuktikan oleh munculnya sel nekrotik pada paparan cisplatin dosis tinggi pada jaringan keratinosit yang resisten.

Paparan dosis tinggi cisplatin menyebabkan kadar ATP sel menurun. Kemudian, hal tersebt akan menyebabkan suatu gangguan metabolisme yang cepat sehingga menghasilkan kematian sel secara nekrotik. Penurunan kadar ATP berkorelasi dengan dosis cisplatin rendah yang dapat menyebabkan apoptosis melalui pelepasan sitokrom mitokondria.

Perbedaan dosis memberikan efek sitotoksik yang berbeda pada tiap jenis sel karena mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh cisplatin tidak serupa, dan sangat spesifik di setiap sel. Perbedaan ini mungkin juga disebabkan oleh perbedaan waktu diferensiasi antara jenis sel, terutama pada sel neoplastik yang mempengaruhi pertumbuhan. Perbedaan lainnya berupa metode pengukuran sel hidup/ mati yang digunakan untuk menentukan sitotoksisitas dan proliferasi sel. Hal tersebut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi efek sitotoksisitas namun tidak diinvestigasi dalam penelitian ini. (*)

Penulis :  Yoga Rahmadianto

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat dari tulisan kami di:

https://link.springer.com/article/10.1007/s12070-018-1317-4

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).