Dr. Radian Salman Sebut Omnibus Law Inovatif Namun Masih Banyak Kekurangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Belakangan ini, masyarakat Indonesia dipenuhi dengan ramainya perbincangan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yaitu Omnibus Law yang menimbulkan banyak pro kontra. Sisi pro mengatakan bahwa Omnibus Law merupakan produk hukum inovatif yang akan menggenjot perekonomian Indonesia dan akan menjadikan Indonesia negara maju pada tahun 2045. Sedangkan pihak kontra mengatakan bahwa RUU itu hanya akan menguntungkan pebisnis dan investor kelas menengah ke atas dan merugikan pihak buruh.

Wakil Dekan III FH UNAIR, Dr. Radian Salman S.H., LL.M., selaku narasumber dalam Dialog Omnibus Law yang diselenggarakan oleh UNAIR, menjelaskan bahwa pada dasarnya adalah Omnibus Law merupakan satu produk hukum yang mengatur banyak hal dengan prinsip dan tujuan yang bersatu. Ia menambahkan bahwa Omnibus Law bukan merupakan barang baru, tradisi untuk menyatukan banyak produk hukum seperti itu sudah lumrah dilakukan di negara yang menganut sistem hukum common law seperti di Amerika Serikat yang menggunakan Omnibus Law dalam pengaturan anggaran.

“Untuk Indonesia, produk hukum seperti ini merupakan hal yang baru karena hukum kita menganut sistem civil law. Oleh karena itu, tentang pengaturan pembuatannya masih belum diatur dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun bukan berarti pembuatan tersebut melawan hukum,” ujar alumni Utrecht University itu

Radian menjelaskan bahwa pembuatan Omnibus Law itu akan menguntungkan dari sisi waktu dan biaya. Ia memaparkan bahwa dalam rentang waktu 2014-2019, hanya ada sekitar 84 RUU yang telah disahkan menjadi UU dan setiap proses pembuatan RUU membutuhkan biaya sekitar 6,56 milyar Rupiah. Di Omnibus Law nanti, akan diperkirakan ada sekitar 81 RUU yang akan dibuat dalam satu anggaran.

Walaupun Radian mengakui bahwa produk Omnibus Law itu merupakan produk hukum yang inovatif dan efektif, proses pembuatannya masih tak luput dengan beberapa kekurangan. Contohnya terkait dengan permasalahan partisipasi aktor dalam pembuatan RUU tersebut.

Hal lain adalah terkait dengan fakta bahwa RUU itu hanya akan membahas pokok-pokok saja dan tidak menyentuh detailnya. Di mana itu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya, seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Radian mengatakan bahwa akan begitu banyak peraturan perundang-undangan baru yang harus dibuat.

“Soal substansi, semuanya tergantung pada filosofi dan pendekatan hukum yang akan dipakai dalam mengkaji RUU ini. Namun, terkait dengan institusi, saya dapat menilai bahwa Omnibus Law ini akan memberikan kekuatan lebih dalam pemerintahan pusat, hal ini dapat berdampak positif atau tidak,” tutupnya.

Perlu diketahui, dialog Omnibus Law itu bertemakan tentang RUU Cipta Kerja: Peluang Usaha untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas yang diadakan di Aula Amerta, Kantor Manajemen Kampus C pada Jumat (28/02/2020) dan mengundang narasumber lain seperti Wakil Dekan I FEB UNAIR, Dr. Rudi Purwono, Staf Khusus Kemenko Perekonomian RI, Umar Juoro M.A., dan Wakil Ketua Umum Jatim bidang Investasi, M. Turino Junaedy.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).