Reformasi Hukum Perkawinan Indonesia: Perlindungan Hak Anak Terhadap Perkawinan Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi perkawinan anak. (Sumber: Intisari)

Sebelum ada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan persyaratan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Diharapkan bahwa pada usia tersebut, masing-masing pihak memiliki jiwa dan fisik yang matang untuk memasuki kehidupan perkawinan.

Namun, mungkin bagi mereka yang belum mencapai usia untuk melangsungkan perkawinan jika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua dari masing-masing pihak dalam perkawinan.

Pada 2012, tinjauan yudisial diajukan ke Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan batas usia minimum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk meningkatkan batas usia minimum untuk wanita dari 16 hingga 18 tahun. Namun, Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan tersebut konstitusional. Kemudian pada tahun 2017, ketentuan UU Perkawinan yang sama diajukan untuk kedua kalinya oleh pelamar yang berbeda untuk ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi.

Di sisi lain, Indonesia telah berpartisipasi dalam perumusan berbagai instrumen HAM internasional yang berdampak pada anak-anak, dan merupakan salah satu pihak di antara mereka, termasuk CRC dan CEDAW. Artikel ini menguraikan ketentuan tentang persyaratan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan dan kesesuaian Undang-Undang Perkawinan Indonesia dengan prinsip dan ketentuan instrumen hak asasi manusia internasional.

Hukum Perkawinan Indonesia dan Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional

Perkawinan anak atau dini adalah kenyataan yang dihadapi oleh banyak bagian dunia. Banyak anak-anak, kebanyakan dari mereka adalah anak perempuan, didorong oleh orang tua untuk melangsungkan perkawinan saat mereka sedang sebelum usia 18 tahun. Umumnya, perkawinan dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi mereka berdua secara finansial dan sosial, sementara juga meringankan beban keuangan pada keluarga. Lagi pula, apakah itu terjadi pada anak perempuan atau laki laki, perkawinan dini adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Bahkan, sejumlah instrumen hukum HAM internasional telah membahas anak perkawinan, misalnya UDHR, CRC, CEDAW, konvensi tentang persetujuan untuk melangsungkan perkawinan, usia minimum untuk melangsungkan perkawinan, dan registrasi Perkawinan, the Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Internasional Konvensi Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR), Tambahan Konvensi Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Lembaga dan Praktek, Konvensi 182 Organisasi Buruh Internasional tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan Konstitusi WHO, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT).

Secara umum, perspektif hak asasi manusia menganjurkan untuk mengatur perkawinan anak sebagai kejahatan terhadap wanita dan anak perempuan. Selain itu, anak perempuan dan perempuan sering menghadapi perlakuan yang tidak sama di depan hukum. Itu sebabnya terlepas dari instrument hukum tertentu yang mana berurusan dengan hak-hak anak, penelitian ini juga mendekati instrumen hukum yang berkaitan dengan larangan terhadap diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Jumlah instrumen hukum hak asasi manusia internasional dapat diterapkan untuk melarang perkawinan anak. Namun, mereka tidak secara spesifik dan eksplisit mengidentifikasi perkawinan anak dalam ketentuan tersebut. Selain itu, mereka meninggalkan implementasi dan penegakan untuk masing-masing keadaan individu. Akibatnya, banyak negara, termasuk Indonesia tidak menafsirkan ketentuan umum untuk berlaku untuk masalah ini, serta telah membantah ketentuan tersebut sebenarnya melarang praktik perkawinan anak.

Dengan menetapkan “16” sebagai usia minimum persyaratan bagi gadis untuk melangsungkan perkawinan, UU Perkawinan Indonesia tidak hanya diskriminatif atas dasar seks. Dengan membiarkan perkawinan dini, terutama untuk anak perempuan, Undang-Undang juga menempatkan anak perempuan pada risiko yang jauh lebih tinggi karena mereka tidak dapat mengakses hak-hak mereka CRC, serta hukum domestik.

Dalam uji materi kedua untuk ketentuan tentang persyaratan usia minimum untuk perkawinan dalam UU Perkawinan Indonesia, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan hal itu dengan menetapkan persyaratan usia minimum yang berbeda untuk melangsungkan perkawinan antara anak laki-laki dan perempuan, UU Perkawinan Indonesia bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.

Saat ini pengaturan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya, Pemerintah juga harus mengidentifikasi pentingnya pencegahan dan terutama tentang pentingnya mengadopsi holistic pendekatan untuk mengatasi akar penyebab, seperti kemiskinan dan dalam pengembangan, berkontribusi terhadap kerentanan anak-anak terhadap anak atau perkawinan dini. (*)

Penulis: Zendy Wulan Ayu W. Prameswari

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEAHR/article/view/5353

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).