Indonesia Masih Duduki Posisi Ketiga Tertinggi Kusta, Pakar UNAIR: Kita Semua Bertanggung Jawab dalam Eliminasi Kusta

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Lebih dari enam dekade yang lalu, seorang wartawan Prancis bernama Raoul Follereau gencar mengajak publik agar lebih peduli pada penderita kusta. Ajakan tersebut bermula dari pengalamannya saat mengunjungi wilayah Sahara. Selama berada di sana, ia disuguhkan dengan realitas kehidupan penderita yang kental akan diskriminasi.

Sejak itu, Follereau aktif berkelana sembari merangkul para penderita kusta guna mengubah stigma negatif yang ada sejak lama. Pada tahun 1953, ia mengusulkan pekan terakhir di bulan Januari sebagai Hari Kusta Internasional karena bertepatan dengan minggu ketiga pasca hari raya pencerahan atau Epiphany dalam Sistem Kalender Katolik.

Langkah Follereau didukung 150 kantor radio dari 60 negara yang ikut mengampanyekan kepedulian penyakit kusta. Selain itu, pemilihan waktu tersebut juga merupakan bentuk apresiasinya kepada Mahatma Gandhi yang wafat pada tanggal 30 Januari 1948. Semasa hidupnya, Gandhi menaruh perhatian terhadap penderita kusta karena terinspirasi Yesus.

Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp. KK(K), FINSDV, FAADV, saat melakukan pemeriksaan pada salah seorang pasien kusta. (Foto: Istimewa)

Salah satu bentuk tindakan diskriminatif bagi penderita kusta adalah penerapan regulasi penggunaan pakaian atau atribut khusus untuk membedakan mereka dengan yang tidak terjangkit. Bahkan, sempat berkembang pula kawasan pengasingan khusus penderita kusta yang dahulu pernah beroperasi di sejumlah negara. Keadaan tersebut diperparah dengan ketiadaan obat-obatan maupun minimnya upaya dalam menangani penderitanya. 

Guru Besar Dermatologi Veneorologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp. KK(K), FINSDV, FAADV, menjelaskan bahwa kusta termasuk jenis penyakit infeksi yang perkembangannya ditentukan oleh tiga faktor. Yakni, host (kekebalan tubuh manusia), agent (kuman/bakteri), serta environment (lingkungan).

“Sebelum seseorang sakit, tubuh akan mengalami disregulasi imunitas, yaitu pengaturan yang kurang baik pada sistem kekebalan. Saat tubuh dalam kondisi baik, maka disregulasi imunitas hanya terjadi sementara, selanjutnya orang itu tidak jadi sakit. Sebaliknya, ketika kondisi tubuh kurang baik, maka disregulasi imunitas bisa terus berlangsung (irreversible). Akhirnya orang bisa terkena penyakit, antara lain infeksi seperti kusta,” terang Prof. Cita.

Ia melanjutkan, penularan penyakit kusta umumnya terjadi karena interaksi dengan penderita yang belum diobati. Interaksi itu dapat berupa kontak langsung pada kulit serta pernapasan. Namun, proses ini harus berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama, sesuai dengan masa inkubasi yang relatif lama (waktu 2-5 tahun atau lebih).

“Kusta menyerang bagian kulit, saraf tepi, dan mata. Setelah masa inkubasi, akan terlihat gejala-gejala pada kulit seperti bercak putih, bercak kemerahan, kesemutan, serta mati rasa. Kalau sudah begini, hendaknya segera memeriksakan diri ke dokter karena dapat menyebabkan cacat permanen di kulit, saraf, mata, hingga anggota gerak. Efek jangka panjang itulah yang kemudian menciptakan stigma sekaligus diskriminasi,” jelas Prof. Cita.

Ketika ditanya seputar isu penyakit turunan yang beredar di masyarakat, dia dengan tegas menjawab apabila kusta bukan penyakit turunan apalagi kutukan. Manusia mendapat warisan dari orang tua berupa susceptibility (kepekaan) terhadap suatu penyakit tertentu.

“Terkait objek penularan, selama ini diyakini bahwa kusta hanya menular antar manusia saja. Namun, diketahui juga apabila terdapat hewan yang diketahui sebagai pembawa Mycobacterium leprae, antara lain armadilo (tidak ada di Indonesia). Jadi, tidak menutup kemungkinan ada non-human resources. Hal itu sedang dalam penelitian kami tentang keberadaan kuman tersebut di lingkungan,” sebut anggota tim ahli kusta di Kemenkes ini.

Kusta adalah penyakit sepanjang peradaban manusia. Data World Health Organization (WHO), mencatat prevalensi 0,2 per 10.000 penduduk, dengan jumlah pasien baru 208.619 kasus terjadi sepanjang 2018. Selain itu, hingga saat ini, masih ada tiga negara yang memiliki pekerjaan berat dalam memerangi kusta, yakni India, Brazil, dan Indonesia.

“Eliminasi kusta di Indonesia telah tercapai pada tahun 2000. Sementara Provinsi Jawa Timur mencapai eliminasi tahun 2016. Kemudian, tahun 2018 di Indonesia jumlah kasus baru kusta 14.397 dengan case detection rate 5.43 per 100.000 penduduk dengan jumlah  total kasus kusta 19.033 dengan angka prevalensi 0.72 per 10.000 penduduk, namun tetap masih ada kantung-kantung endemis terutama di Indonesia bagian Timur,” papar advisor Global Partnership for Zero Leprosy yang juga anggota tim Guideline of Leprosy WHO itu.

Dirinya menekankan, kusta bukan hanya sekedar masalah klinis, tetapi juga masalah sosial. Diskriminasi beserta stigma yang belum benar-benar hilang akan mempersulit proses eliminasi total. Sebab, kedua hal tersebut bisa membuat pasien dan keluarganya enggan berobat, sehingga penyakit terus berlanjut dan penularan tidak dapat dihentikan.

“Tidak berhenti sampai di situ, diskriminasi serta stigma yang berkembang juga dapat membatasi segala aktivitas, termasuk halnya roda perekonomian pasien kusta dan berakibat pada kemiskinan. Lingkaran setan ini harus segera kita putus,” tegas Prof. Cita.

Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp. KK(K), FINSDV, FAADV, saat melakukan penyuluhan dan diskusi bersama sejumlah pasien kusta. (Foto: Istimewa

Selama ini, baik pihak berwenang di tingkat global maupun nasional sudah berupaya maksimal dalam memberantas kusta. Berbagai penelitian pun telah dilakukan, terutama pada aspek diagnosis dan terapi. Selain itu, upaya pemutusan mata rantai kusta juga ditempuh melalui pengobatan dan vaksinasi.

“Pengobatan yang sekarang masih diberikan kepada pasien kusta adalah Multi Drug Treatment of Leprosy (MDTL). Ada dua regiment, yaitu obat untuk kusta tipe Pausi Bacillary (PB) yang terdiri atas rifampicin dan dapsone. Kemudian obat untuk kusta tipe Multi Bacillary (MB) yang berupa rifampicin, clofazimin, serta dapsone,” ungkap Prof. Cita.

Ia menambahkan, nantinya akan dilakukan upaya pencegahan lain melalui Post Exposure Prophylaxis (PEP). Namun, Prof. Cita mengatakan, jika PEP masih berada dalam tahap penelitian sampai lima tahun ke depan. Penelitian ini didanai oleh Netherland Leprosy Relief dengan melibatkan India, Brazil, Indonesia, Belanda, Inggris, Amerika, dan Prancis.

“Tugas kita adalah meningkatkan koordinasi antara akademisi, peneliti, klinisi, serta instansi kesehatan, meliputi distribusi hasil penelitian termasuk promotif dan preventif. Lalu, dari sisi masyarakat harus bisa menjaga kesehatan diri sendiri, keluarga maupun lingkungan agar tidak mengalami kondisi disregulasi imunitas yang berkepanjangan dan jatuh sakit. Dengan kata lain, kuman boleh ada tetapi badan kita tetap sehat. Segera ke dokter bila ada tanda awal bercak dan mati rasa. Yang terpenting, hilangkan sikap negatif terhadap pasien, karena eliminasi kusta tanggung jawab kita bersama,” pungkasnya. (*)

Penulis : Nabila Amelia

Editor    : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).