Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Wiken - GridID

Helicobacter pylori merupakan salah satu bakteri yang berperan penting dalam berbagai spektrum penyakit gastrointestinal, mulai dari gastritis—atau yang lazim dikenal dengan sebutan maag—hingga kanker lambung yang ganas. Pada populasi anak-anak sendiri, Helicobacter pylori dapat menyebabkan bau mulut, tukak lambung, muntah berulang, malabsorpsi besi, dan gastritis kronis.

Berbagai laporan sebelumnya menyatakan bahwa sebenarnya sekitar sepertiga anak di seluruh dunia terinfeksi Helicobacter pylori, namun tidak menimbulkan gejala yang cukup signifikan. Akan tetapi, di Indonesia didapatkan bahwa hanya sekitar 3,8% anak yang terinfeksi Helicobacter pylori. Perbedaan angka yang cukup jauh ini yang menjadi dasar kami berpikir, apakah metode diagnostik yang digunakan di Indonesia selama ini memang sudah cukup sensitif untuk mendeteksi adanya infeksi Helicobacter pylori.

Berdasarkan panduan Eropa (ESPGHAN) dan Amerika Utara(NASPGHAN), metode diagnostik baku untuk mendeteksi infeksi Helicobacter pylori adalah dengan metode endoskopi-biopsi. Sayangnya, metode ini sangat invasif, beresiko tinggi, mahal, tidak nyaman bagi pasien, dan harus dikerjakan oleh tenaga medis yang sudah terlatih.

Metode lain yang disarankan adalah dengan menggunakan urea-breath test. Meski cukup sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis infeksi Helicobacter pylori, metode ini juga cukup mahal dan melibatkan radioisotop. Oleh sebab itu, pada studi yang kami lakukan, kami ingin membandingkan sensitifitas dan spesifisitas metode lain, yaitu metode stool antigen yang menggunakan sampel feses, metode ELISA menggunakan sampel air liur (salivary immunoglobulin), dan metode ELISA menggunakan sampel darah (serum immunoglobulin), dengan metode endoskopi-biopsi.

Pada penelitian ini, kami melibatkan 37 anak yang datang ke RSUD Dr.Soetomo, Surabaya, selama bulan Mei sampai Juli 2012, dan dicurigai menderita infeksi Helicobacter pylori. Pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah pasien berusia 3-18 tahun, menunjukkan gejala infeksi Helicobacter pylori seperti minimal mengalami 3 episode nyeri perut dalam 3 bulan terakhir, dan menunjukkan gejala dispepsia, seperti nyeri epigastrik berulang, rasa tidak nyaman diperut, kembung, mual, muntah, cepat kenyang, dan distensi perut dalam 3 bulan terakhir.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa metode ELISA untuk air liur cukup sensitif dan spesifik untuk menegakkan infeksi Helicobacter pylori. Dibandingkan dengan metode endoskopi-biopsi dan urea-breath test, metode ini jauh lebih sederhana dan lebih nyaman untuk pasien karena hanya melibatkan uji laboratoris menggunakan air liur.

Air liur pasien dapat ditampung dalam tabung, kemudian diperiksakan ke laboratorium untuk melihat adanya antibodi dalam air liur tersebut. Dibandingkan dengan metode ELISA menggunakan sampel darah, metode ini tidak meningkatkan resiko infeksi pada pasien karena tidak memerlukan pengambilan darah dengan jarum suntik. Biaya pemeriksaan juga jauh lebih murah dibandingkan metode endoskopi-biopsi.

Studi serupa di Inggris juga menunjukkan bahwa pemeriksaan ELISA menggunakan air liur cukup sensitif dan spesifik untuk mendeteksi infeksi Helicobacter pylori. Meski demikian, metode ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pada metode ini, nilai antibodi bisa terdeteksi tinggi bila pasien juga mengalami kelainan periodontal atau perdarahan gusi sehingga pada pasien dengan kelainan gigi dan mulut bisa terjadi over diagnosis.

Sebaliknya, bila nilai antibodi dalam air liur lebih rendah dari ambang bawah yang bisa didiagnosis oleh alat ELISA, pada pasien dapat terjadi under diagnosis. Selain itu, metode ini juga tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil terapi karena antibodi dalam air liur tersebut bisa tetap teerdeteksi tinggi untuk jangka waktu yang lama, meski pasien sudah tidak mengalami gejala.

Dengan demikian, kami simpulkan bahwa metode ELISA menggunakan air liur ini dapat digunakan sebagai salah satu metode diagnostik infeksi Helicobacter pylori pada anak. Metode lain yang kami uji dalam studi ini, seperti metode stool antigen yang menggunakan sampel feses dan metode ELISA menggunakan sampel darah, dapat digunakan sebagai salah satu alternatif uji screening non-invasif infeksi Helicobacter pylori. Akan tetapi, kedua metode tersebut masih tidak bisa digunakan sebagai metode diagnostik karena meskipun metode stool antigen dan metode ELISA dengan sampel darah memiliki sensitivitas tinggi, namun spesifisitasnya rendah.

Penulis: Andy Darma

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6711868/

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).