Waspadai TBC Tipe Sapi pada Manusia dan Perbedaan Pengobatannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: The Times of Israel

Tuberculosis (TBC) pada manusia umumnya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis Sedangkan TBC pada sapi disebabkan oleh bakteri  Mycobacterium bovis yang dapat menular ke manusia, sapi, hewan domestik, seperti anjing, kucing dan hewan peliharaan lain serta hewan liar. Namun sebaliknya, bakteri Mycobacterium tuberculosis yang induk semang utamanya manusia juga dapat menyerang sapi.

Penyakit batuk yang disebabkan bateri pada sapi (M. bovis) sangat sulit dibedakan dengan penyakit batuk yang disebabkan bakteri pada manusia (M. tuberculosis), keduanya menunjukkan gejala penyakit yang sangat mirip seperti batuk-batuk yang tidak semuh-sembuh dan pada kondisi yang parah terjadi muntah darah. Penularan penyakit umumnya melalui makanan, susu yang tidak terpasteurisasi, udara dan kontak dengan cairan lendir penderita.

Bakteri Mycobacterium bovis merupakan penyebab tuberkulosis pada sapi yang dapat menular ke manusia khususnya di negara berkembang. Laporan WHO (World Health Organization) tahun 2009 menyebutkan bahwa manusia penderita TBC di wilayah Asia Tenggara mencapai jumlah kedua terbesar setelah Afrika, yaitu sebesar 30 % dari total penderita se dunia.

Indonesia menduduki peringkat ke 5 dari negara-negara se Asia Tenggara. Pada populasi penduduk di daerah pedesaaan, diperkirakan adanya hubungan antara kasus  infeksi M. bovis pada manusia dengan tingkat populasi sapi di wilayah tersebut. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC di dunia.

M.bovis telah dilaporkan menyebabkan 6-30% kasus TBC pada manusia di USA pada susu yang belum terpasteurisasi, di San Diego lebih dari 8% dari seluruh kasus TBC pada manusia disebabkan oleh M.bovis. Dilaporkan juga di Western Ireland bahwa Mycobacterium bovis menyebabkan 6.3% kasus TBC manusia. Penelitian di New Zealand menunjukkan peningkatan kasus bovine tuberculosis antara 1983 (3.7%) menjadi 1989 (14.6%).

Di samping itu ternyata dibeberapa daerah di Amerika latin diagnosis TBC dilaporkan sekitar 7000 kasus TBC manusia baru per tahun adalah disebabkan infeksi dari M.bovis. Di negara Inggris dilaporkan bahwa kejadian TBC manusia yang disebabkan oleh M.bovis mencapai angka kurang dari 1%. Mycobacterium bovis bertanggung jawab sekitar 5% kasus TB pada manusia di Brazil dan dilaporkan prevalensi M.bovis pada ternak sapi di Brazil diperkirakan 1,3% dari tahun 1989-1999. Prevalensi M.bovis pada ternak sapi perah di Central Ethiopia  sekitar 50%.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mahatmi dan Goncales (2011) menemukan 5 positif M.bovis dari 90 sampel sapi yang ada di wilayah Negara Timor Leste dengan pemeriksaan Elisa. Di Mesir ditemukan 4,35% dari 23 sampel susu sapi yang diambil menunjukkan positif M.bovis dengan uji ELISA (2009), sedangkan di India penelitian terhadap 440 ekor sapi perah ditemukan 63 positif  M.bovis dengan uji tuberculin.

Bagamana dengan di Indonesia? Keberadaan tuberculosis sapi di Indonesia terjadi sebagai akibat importasi sapi perah dari negeri Belanda dan Australia pada awal abad ke-20 dan kondisi tropis Indonesia yang memungkinkan berbagai bakteri hidup di daerah ini. Kejadian tuberkulosis sapi dilaporkan pertama kali oleh PENNING pada tahun 1906, menyerang sapi perah di Semarang (Jawa Tengah).

Sejak tahun 1911, pemerintah Belanda mengharuskan dilakukannya uji tuberkulinasi pada sapi perah. Namun kenyataannya banyak Dinas Peternakan yang tidak melakukan uji tuberkulinasi di wilayahnya, dan kenyataan itu berlangsung sampai saat ini.

Hasil penelitian MOECHROM pada tahun 1989, dengan uji tuberkulinasi ditemukan tuberkulosis pada dua ekor sapi perah di Jawa Tengah dan tiga ekor sapi perah di Jawa Timur. TBC sapi perah merupakan salah satu penyakit “Zoonosis” yang perlu mendapat perhatian, karena tuberkulosis tersebut tidak hanya menyerang sapi perah saja, tetapi dapat menular kepada manusia, melalui air susu, makanan, udara dan kontak dengan cairan lendir.

Pada hal populasi sapi perah terus meningkat mencapai 457.577 ekor pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2009), selanjutnya pada tahun 2009 telah mencapai 486.991 ekor (Kementan, 2010), dan menurut Rilis Hasil PSPK 2011 jumlahnya sapi perah telah mencapai 597 ribu ekor (Kementan dan BPS, 2011). Sehingga dengan meningkatnya jumlah sapi perah di Indonesia juga dapat meningatkan jumlah TBC pada manusia.

Populasi sapi perah terbesar adalah Jawa Timur sekitar 296,3 ribu ekor atau 49,61 persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Sehingga kemungkinan kasus TBC terbesar pada manusia adalah di Jawa Timur, terutama di daerah pedesaan.

Hasil Survei di Rumah sakit, Selama ini penanganan kasus TBC pada manusia tidak pernah dideteksi sampai ke jenis bakteri penyebabnya, biasanya pengobatan selalu menggunakan kombinasi 3 macam jenis antibiotik yaitu Isoniasida, Rimfamisin, dan Pirazinamid. Pengobatan antibiotik dengan menggunakan Pirazinamid yang umum digunakan pada pengobatan M.Tuberculosis (TBC manusia) tidak efektif bagi bakteri M.Bovis (TBC sapi), karena antibiotic tersebut tidak aktif pada M.Bovis hanya aktif bagi bakteri yang aktif membelah yaitu M.Tuberculosis. Hal inilah yang menyebabkan Manusia penderita TBC tidak sembuh-sembuh sehingga semakin menularkan penyakitmya ke lingkungan sekitarnya, sehingga menjadikan penyakit TBC sulit di berantas.

Dari manakah kita bisa memulai untuk pemberantasan TBC ini, karena penyakit ini sudah menjadi lingkaran batuk yang sulit diobati dan diberantas. Pengobatan bisa diawali dari manusia dengan mendeteksi penyakit sampai ke jenis bakteri penyebabnya sehingga pengobatannya bisa tepat sasaran. Untuk hewan atau ternak tidak disarankan diobati, lebih baik dimusnahkan, terutama bagi ternak yang sudah terkena TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paru karena pengobatan TBC pada hewan tidak efektif dan dapat menjadi sumber penularan bagi manusia.

Oleh sebab itu, disarankan mungkin perlu adanya kebijakan dan anggaran dari pemerintah untuk dilakukan uji tuberkulinasi pada ternak di wilayahnya dan dilakukan pemotongan dengan kompensasi biaya dari pemerintah bagi ternak yang positif menderita TBC, baik yang terinfeksi bakteri M.Bovis maupun M.Tuberculosis agar kasus penyakit lingkaran batuk TBC ini dapat teratasi.

Marilah kita mencermati kembali dan lebih memperhatikan lagi lingkaran batuk TBC ini jangan sampai tanpa kita sadari menjadi penyakit pembunuh ke 2 setelah kanker di Indonesia. (*)

Penulis: Indah Purnamasari

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).