Rumusan Masalah Sebuah Riset: Apakah Sebuah Keniscayaan?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh sosiologis.com

Salah satu manfaat berlangganan jurnal ilmiah secara fisik adalah kita akan membukanya dari halaman sampul depan sampai sampul akhir. Dari membuka dari halaman awal sampai akhir itu saya menyadari kalau jurnal ilmiah  mirip majalah yang umum kita temui. Ada banyak rubrik di dalamnya, termasuk berbagai macam iklan, bakan iklan lowongan pekerjaan.

Saya rutin membuka-buka jurnal dari awal sampai saat masih sekolah di Groningen dan di Osaka. Sambil makan siang di kantin atau di dapur lab, saya ambil satu jurnal dari rak yang menyediakan berbagai macam jurnal ilmiah. Aktivitas ini sulit saya dapatkan ketika hanya mengandalkan jurnal berbasis Internet, saya hanya peduli dengan paper yang sedang saya cari tanpa peduli artikel-artikel lain.

Bagian yang menarik tentu bukan bagian laporan riset, ngapain juga rehat sambil baca sesuatu yang ngejelimet. Yang menarik justru bagian esai yang bercerita tentang pengalaman, pendapat, filsalat ilmuwan-ilmuwan hebat.

Misalnya apa yang ditulis oleh Prof. Martin A. Schwartz di esai Journal of Cell Science, volume 121 (2008), halaman 1771 (doi: 10.1242/jcs.033340), “Pentingnya kebodohan dalam riset ilmiah.” Prof. Schwartz adalah pakar rekayasa biomedis dan biologi sel dari Yale School of Medicine (Yale University), Amerika Serikat.

Prof. Schawrtz bercerita pengalamannya yang selalu merasa bodoh saat masih sekolah S3 di Standford University. Menurut beliau, bodoh itu ada dua: bodoh absolut dan bodoh relatif. Bodoh relatif ini yang kita lihat di kelas: ketika ada siswa yang nilai ujiannya lebih tinggi daripada yang lain membuat yang lain bodoh relatif. Siswa yang bisa menjawab ujian dengan benar ini nantinya akan berpikir dirinya pintar dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke jenjang S3. Untuk selesai S3, kita harus meriset. Dan saat meriset inilah kita merasa bodoh, seperti yang dialami secara pribadi oleh Prof. Schwartz.

Kebodohan saat S3 adalah kebodohan absolut, yaitu kebodohan yang lahir karena memang kita tidak tahu jawaban dari riset kita. Jangankan mengetahui hasil akhir dari riset, kita bahkan tidak tahu apakah kita sudah benar memformulasikan masalah riset kita. Belum lagi seberapa yakin kita dengan design eksperimen yang kita buat sendiri, apatah lagi interpretasi hasil dan penarikan kesimpulan.

Schwarts muda selalu mencoba mendiskusikan masalah-masalah yang dia hadapi dengan para dosen di departemennya. Tapi, takbanyak membantu. Bahkan, dia pernah menghadap Henry Taube (dua tahun sebelum Prof. Taube mendapat Nobel Kimia 1983) hanya untuk mendapatkan jawaban: “Saya tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahmu.”

“Jika Prof. Taube yang 1000 kali lebih tahu daripada saya saja tidak tahu, sudah tentu tidak akan ada yang tahu jawabannya,” pikir Schwarts muda.

Ah, tapi sekarang Schwarts muda menyadari sesuatu. Tentu saja tidak ada yang tahu jawabannya. Justru karena tidak ada yang tahu makanya masalah ini perlu diteliti.

Tidak tahu jawaban dari riset adalah sebuah kebodohan absolut. Dan memang, seharusnya tidak ada yang tahu jawaban dari sebuah riset sampai riset itu selesai dikerjakan. Artinya, para periset selalu berada dalam keadaan bodoh absolut saat mengerjakan riset mereka. Sains memaksa kita berkonfrontasi dengan kebodohan absolut tersebut.

Dengan kata lain, jika kita merasa pintar saat melakukan riset, itu berarti kita belum benar-benar meriset.

Prof. Schwartz bahkan berpendapat bahwa tujuan utama dari sebuah ujian tesis/disertasi adalah untuk membuat mahasiswa pada akhirnya menyerah dan berkata “Saya tidak tahu.” Ini cara terbaik untuk mengenali kelemahan mahasiswa, apakah dia kurang usaha atau kurang bekal pengetahuan.

Sebaliknya, jika dalam sebuah ujian hanya menikmati mahasiswa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan benar, ini menunjukkan kegagalan para pembimbing. Kenapa? Karena salah satu keindahan dari sains adalah mendidik kita untuk gagap bersama, salah dari waktu ke waktu, namun merasa baik-baik saja asal kita selalu belajar sesuatu yang baru dari setiap kesalahan itu.

“Transisi terbesar dalam hidup kita adalah dari fase mempelajari apa yang telah ditemukan orang ke fase membuat temuan sendiri. Dan, edukasi ilmiah seharusnya memudahkan transisi ini,” simpul Prof. Schwartz.

Apa yang ditulis Prof. Schwartz tahun 2008 ini masih relevan untuk kita saat ini. Relevan untuk kita, civitas akademika Unair, entah itu mahasiswa S3, S2, S1, bahkan untuk para dosen sekalipun.

Tuntutan publikasi, apapun motivasinya, telah membuat kita melihat riset sebagai sebuah proyek. Mengatur riset pun seperti mengelola proyek: orientasi hasil. Lebih parah lagi adalah deskripsi hasil dari sebuah riset. Riset dikatakan berhasil ketika sudah terpublikasikan di sebuah jurnal, meskipun proses uji oleh mitra bestari (peer review) tidak baik. Sedangkan manuskrip yang tertolak setelah berbantah-bantahan dengan reviewer dianggap sebagai sebuah kegagalan.

Kita pun membimbing mahasiswa dengan orientasi data yang dapat dipublikasikan (publishable). Padahal seharusnya status mahasiswa itu adalah status yang ideal untuk mencoba ini dan itu serta berbuat salah sebanyak-banyaknya. Akibatnya, baik  pembimbing maupun mahasiswa tidak dapat melihat bahwa riset harus dimulai dari sebuah kebodohan: bahkan rumusan masalah yang kita formulasikan di awal harus kita koreksi dua, tiga, atau bahkan empat tahun kemudian.

Rumusan masalah memang bagian paling krusial dari riset, tapi dia bukan sebuah keniscayaan.

Penulis: Febdian Rusydi S.T., M.Sc., Ph.D (Dosen FST Universitas Airlangga)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).