Hati Nurani: Pendidikan Masa Kini

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh nasional kompas com

Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas nilai kehidupan dari salah satu iklan berjudul “Gift” yang dikeluarkan oleh Community Chest. Dalam tayangan iklan “Gift”, tokoh ayah dan anak menjadi dua tokoh yang bertolak belakang dalam mengambil sikap, contohnya dalam hal memberi. Scene awal dalam tayangan iklan ini menampilkan monolog anak yang tidak menyukai figure ayahnya. Scene berlanjut menggambarkan pekerjaan ayahnya yang serabutan dan diceritakan tokoh ayah ini seorang yang miskin dan tidak sukses. Bahkan, si anak mengatakan bahwa ayahnya telah bekerja giat, tapi nyatanya tetap miskin. Tokoh ayah dalam tayangan iklan ini juga diceritakan oleh si anak bukan sebagai idola yang bisa dicontoh. Pada scene berikutnya, ditemukan bahwa tokoh ayah ini ternyata melakukan dua hal besar: ia menghibur orang lain dengan memberi ucapan harapan, menceritakan kisah inspiratif, berdandan seperti badut lucu, dan yang kedua ia mengumpulkan uang untuk didonasikan ke yayasan peduli kasih. 

Sebelum mengetahui fakta tersebut, scene tayangan iklan memperlihatkan bahwa si ayah selalu membiasakan anak tersebut untuk menyisihkan uang sakunya ke sebuah toples. Ayah pun melakukan hal yang serupa. Ketika si anak mengeluh “Why are we not rich?”, si ayah akan menjawab “Who says we’re not rich? Being rich is not about how much we have, but how much we give. Sometimes when you give, you’ll be happier.”

Dari ilustrasi di atas, kondisi bertentangan antara ayah dan anak tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan teori Psikoanalisis Freud yang memiliki tiga komponen penting; id, ego, superego. Menurut Freud, perilaku manusia digerakkan oleh naluri-naluri dasar. Naluri-naluri ini pada dasarnya sudah melekat pada setiap individu. Namun, dalam realitanya, ada satu komponen psikologis yang bertugas menggerakkan naluri tersebut atau tidak. Berdasarkan sikap yang diambil oleh ayah, memberi merupakan sebuah kepuasan sehingga sikap tersebut ia lakukan. 

Yang menyebabkan terjadinya sikap memberi itu terlebih dulu bersumber dari komponen Id. Id menjadi struktur kepribadian yang tidak terkoordinasi. Ia bekerja di alam bawah sadar. Komponen id inilah yang membentuk keinginan-keinginan yang bersifat seksual, agresif, atau represif. Misalnya, manusia berkeinginan untuk menjadi orang kaya, menjadi orang bermanfaat, atau menjadi orang yang suka memberi seperti yang dilakukan tokoh Ayah. Keinginan-keinginan ini secara naluriah sudah ada dalam diri manusia. Komponen id menyebabkan manusia berkhayal untuk memenuhi kebutuhannya, misal kebutuhan bahagia, fisik, duniawi, atau rohaniah. Mungkin saja, kebutuhan yang diinginkan tokoh ayah adalah suatu kebahagiaan. Dan mungkin saja, tokoh ayah menganggap bahwa memberi adalah sikap yang diambil untuk memenuhi keinginan nuraninya. Melihat sikap Ayah yang suka memberi bukan berarti si anak tidak memiliki keinginan-keinginan yang dikhayalkannya untuk memenuhi kebutuhan. Si anak pun memiliki hati nurani dengan tujuan-tujuan yang serupa. Akan tetapi, yang membedakan adalah sejauh mana komponen kedua yaitu ego mengontrol implementasi id tadi. 

Sikap memberi yang ayah lakukan merupakan hasil dari ego yang bisa dikendallikan. Pada dasarnya, kita melihat kondisi si ayah miskin dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas mustahil untuk mendonasikan uang hasil jerih payahnya untuk orang lain yang membutuhkan. Namun, ayah berhasil untuk mengendalikan egonya meski kehidupannya pun tidak merepresentasikan sikap kebajikan yang diambilnya. Pengambilan sikap ini kembali lagi pada peran id setiap orang. Jika id mereka mengatakan bahwa mereka ingin kebahagiaan, meski realitanya mereka miskin, mereka akan tetap memberi untuk mencapai kebahagiaan itu. Tokoh ayah terus memberi dan membantu orang lain karena ia pikir dengan cara tersebut ia dapat merasakan kebahagiaan. Menurut Freud, ego merupakan persinggungan antara dunia luar atau realitas kehidupan. Namun, karena tokoh ayah ini memiliki hati nurani yang tajam, ego-nya pun dapat dikalahkan dengan hati nurani tersebut. 

Berkebalikan dengan sikap si ayah, tokoh anak di sini tidak mampu untuk menahan egonya. Sebaliknya, ketika seseorang tidak dapat menahan egonya, ia akan merasa bahwa membantu orang lain atau memberi bukanlah sikap yang dipilihnya untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasannya. Hal ini dapat terjadi jika si anak melihat realita yang membuatnya lelah untuk hidup melarat. Jika hal demikian terjadi, hati nurani yang semestinya ada pada setiap orang lama-lama akan menjadi tumpul jika orang tersebut merasa bahwa kepuasan yang tidak ia dapat pada sikap memberi. 

Namun, meski si anak memiliki ego yang lebih besar, sehingga ia menolak untuk mengikuti sikap ayahnya, dalam proses mendidik selama ia kanak-kanak, si ayah telah melakukan proses internalisasi nilai pada si anak. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan si ayah yang menyutuh anaknya untuk menyisihkan uangnya di toples, dan ia pun juga melakukan hal demikian. Menurut Freud, superego berperan untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku manusia dan superego dibentuk melalui proses internalisasi tadi. Ia menekan untuk semua yang tidak dapat diterima. Misalnya, si anak sebenarnya telah memiliki id yang menginginkan kepuasan, tapi ia pun juga harus mengahadapi superego yang berasal dari orang-orang di sekitarnya.  Superego ini yang memberikan standard moral untuk ego manusia. Meski pada dasarnya, setiap menusia telah mengetahui standard moral di lingkungannya, jika ego di dalamnya tidak dapat di kontrol, realisasi sikapnya pun akan bertentangan dengan id ataupun superego. Singkatnya seperti ini, “Jika si anak memberi, ia akan bisa membantu orang lain dan membuat orang lain bahagia. Tapi, ia sendiri merasa tidak bahagia”. Id nya adalah si anak ingin kaya dan bahagia. Egonya adalah antara memberi atau tidak. Superegonya berkata memberi itu adalah sikap terpuji seperti yang dikatakan ayahnya. 

Dengan melihat sebuah konsep hati nurani yang diajarkan oleh si Ayah, lantas apakah ini yang pendidikan kita butuhkan? Grace (2019) berpendapat makhluk hidup memiliki kebutuhan dasar dengan kontribusi yang bermakna untuk keluarga dan lingkungan sekitarnya. Saat anak merasa penting dan dihargai, ia akan tumbuh menjadi seseorang dengan pilihan-pilihan dan harga diri yang positif. Meski dalam pikiran anak sering terjadi pertentangan antara id, ego, dan superego, orang tua tetap berikan contoh yang baik. Menurut Maria Montessori, anak akan meniru apa yang kita lakukan. Oleh karenanya, kita perlu memperlakukan anak dengan kebaikan yang kita niatkan untuk mendukung pertumbuhan mereka. 

Berita Terkait

Imamatul Khair

Imamatul Khair

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Airlangga 2017 Editorial Assistant of Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia