Kita dan (Bahasa) Jalanan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh republika co.id

Sebagai seorang pendatang yang baru menetap di Surabaya selama dua tahun, tentu banyak sekali perbedaan (Culture Shock) yang saya temukan di kota metropolitan ini. Dalam tataran porsi, perbedaan itu memiliki porsi yang seimbang atas persamaan yang dimilikinya, misalnya kegiatan coret-menyoret atau tempel-menempel di tembok-tembok maupun jalanan kota.

Di tempat sekarang saya belajar, kegiatan bazar atau yang umum kita ketahui sebagai pasar malam, banyak kita temukan di berbagai kota dengan ciri khasnya masing-masing, begitu pula yang terjadi di Surabaya. Sebagai kota industrial, kegiatan pasar malam hampir dapat kita temukan di setiap akhir pekan di gang-gang kecil Rw maupun yang terselenggara secara besar-besaran dan kontinu. Salah satu yang menarik perhatian saya sebagai warga pendatang mengenai kegiatan pasar malam di Surabaya adalah coretan-coretan yang biasa kita temukan di radius 50 meter-an tempat dimana pasar malam tersebut diadakan. Biasanya, coretan tersebut akan tertulis seperti ini,

Bazar 
14-15-sept
atau jika ada tambahan kegiatan atau peringatan akan tertulis
BAZAR 
14-15 septem
DIRGAHAYU RI-74
ORKES

Lalu, di samping tulisan itu akan ada tanda panah yang merujuk pada lokasi pasar malam tersebut dilaksanakan. Tentu, fenomena yang lazim di Surabaya ini belum tentu lazim pula di daerah lain sebab selalu ada konvensi yang meliputi pemakaian tanda maupun bahasa yang digunakan.

Narsisme

Kegiatan coret-menyoret di jalanan maupun di tembok tidak ubahnya sebagai sebuah perilaku peleburan identitas dalam kehidupan jalanan. Dalam peleburan identitas tersebut, terjadi proses identifikasi diri yang mudah mereka masifkan melalui berbagai jenis coretan atau tempelan. Hanya saja, proses identifikasi diri tersebut cenderung mengarah pada problematika narsisitik kepribadian (narcissism). 

Narsistik dapat dibilang merupakan gejala yang tengah mewabah mendampingi pasca-kebenaran (post-truth) di masyarakat kita dewasa ini. sebagai sebuah luaran perilaku dari narsisme, narsistik erat kaitannya dengan harga diri (self-esteem) yang berfungsi sebagai idealisme dasar pembentukan karakter narsisitik. Pembentukan dasar tersebut kemudian disalurkan melalui dua saluran utama berupa aspek kognitif dan motivasi sebagai satuan elemen yang terikat dalam harga diri seseorang. Kemudian, problematika yang muncul dari narsisistik ini adalah pengabaian diri mereka terhadap lingkungan sekitar sehingga kadangkala kegiatan coret-menyoret atau tempel-menempel yang dilakukan di jalanan maupun di tembok terstigmatisasi sebagai perilaku vandal.

Kehidupan jalanan sendiri memiliki porsi yang besar dalam mengakomodir kegiatan narsisitik seseorang dalam perkembangan budaya jalanan. Misalnya, ketika masa kampanye politik, kita akan mudah mendapati berbagai macam jenis dan ukuran foto maupun lambang partai yang terpampang di pinggiran ruas-ruas jalan. Ruang-ruang yang semula merupakan ruang terbuka itu pun pada akhirnya terkena getah kampanye politik terebut yang terasa sesak sebab belum habis masa berlaku poster atau tempelan yang digunakan untuk orang beriklan sudah ditumpuk dan diriuhkan dengan tempelan-tempelan yang baru. Artinya, kehidupan jalanan adalah kehidupan yang egaliter dan kompetitif. 

Dalam kasuistika linguistik struktural, kita mengenal Petanda (signifie) dan Penanda (signifiant) yang diperkenalkan oleh salah seorang filsuf dan ahli bahasa dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Dalam konsep yang dapat kita temukan di bukunya yang berjudul Cours de linguistique générale, Ferdinand de Saussure memberikan pendahuluan terlebih dahulu mengenai Langue dan Parole sebelum pada akhirnya menjelaskan mekanisme terbentuknya Petanda dan Penanda. Dalam penjelasannya, Langue disebutnya sebagai sebuah abstraksi yang muncul akibat pengaruh lingkungan (convention) sebagai sebuah sistem dan produk yang disepakati oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah bahasa. Lalu, Parole sendiri merupakan konkretisasi atas abtraksi yang terjadi pada tataran Langue, salah satu bentuknya adalah kemunculan penanda (signifiant). Untuk mengakomodir hal-hal yang sifatnya berupa pemahaman, maka muncullah istilah petanda (signifie). Kemudian, melalui konsep dasar inilah bahasa sebagai entitas produk sebuah kebudayaan dapat dikaji secara sinronik.

Dalam mengamati kebudayaan yang berkembang di jalanan, perlu dikemukakan bahwa kehidupan jalanan adalah kehidupan yang egaliter. Hal tersebut sebenarnya tercermin dari produksi-produksi tanda yang berkelindan di dalamnya. Misalnya, jenis standar suara  klakson yang sanggup menimbulkan berbagai macam interpretasi. Contoh lain misalnya standarisasi penggunaan warna lampu lalu lintas jalan yang berada di persimpangan maupun penyeberangan, belum lagi ragam jenis bahasa yang muncul dalam perkembangan kehidupan jalanan tersebut. Secara implisit, hal tersebut mengindikasikan bahwa sifat egaliter adalah budaya akar (indigenous culture) dari kehidupan jalanan. Maka, tidak perlu heran ketika kehidupan jalanan mampu bermetamorfosa sebagai salah satu sub-kultur kebudayaan yang umumnya berkembang di kota-kota besar. 

Narsistik, Identitas, dan Tanda 

Kegiatan coret-menyoret di jalanan apalagi jika itu berada dalam konteks sebagai sebuah materi pengiklanan, tentu bukanlah suatu masalah. Tetapi, dalam kacamata bahasa dan kebudayaan, kegiatan tersebut menjadi fenomena tersendiri yang berfungsi sebagai tanda kebudayaan dan bahasa. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa narsistik sebagai salah satu bentuk problematika kepribadian yang acapkali identik dengan pengabaian diri terhadap lingkungan atau masyarakat sekitarnya. 

Ada hal yang perlu kita cermati dalam melihat metode pengiklanan pasar malam di Surabaya sebagai sebuah tanda. Dalam mempertautkan hubungan tanda dan sekitarnya, kita membutuhkan unsur petanda dan penanda. Dalam hal ini jelas bahwa metode pengiklanan tersebut sebagai sebuah penanda. Permasalahannya, kepada siapakah tanda tersebut ditujukan, dan bagaimana praanggapan tersebut menjadi konvensi tersendiri bagi budaya jalanan di Surabaya. 

Dalam tanda tersebut, kita melihat ada identitas yang sengaja dilekatkan oleh masyarakat tersebut tanpa harus membebani ruang yang sudah penuh dan sesak dengan berbagai macam atribut yang terpajang di tembok, pohon, tiang yang berada di pinggir-pinggir jalan. Sehingga alternatif yang muncul adalah metode pegiklanan di atas aspal jalan. Karena sifat acaranya yang temporal dan momentul, maka teknik pengiklanan harus menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Lagipula, memberikan tanda dengan mengecat jalan tidak membebani fungsi estetis dari jalanan tersebut. Justru, yang perlu diwanti-wanti adalah beriklan dengan menempel secara sembarangan di tembok-tembok pinggi jalan. 

Kemudian dari keterangan di atas, dapat kita ketahui pula bahwa tanda tersebut ditujukan bagi pengguna jalan, tentu ketegorisasi pengguna jalan sangat beragam. Maka, dapat diambil sebuah kesimpulan umum (common sense) bahwa pengguna jalan yang dimaksudkan adalah pengguna tetap jalan tersebut. Sayangnya, kesimpulan umum tersebut tidak akan berguna dan bekerja bagi pasar malam yang diadakannya menetap dan dilaksanakan secara rutin, sebab melalui rutinitas dan tempatnya yang tetap, pasar malam tersebut juga membentuk pola komunikasi yang khas dan berbeda dengan pasar malam yang sifatnya temporal dan momentual. 

Sebagai salah satu sub-kultur kebudayaan, budaya jalanan pada akhirnya mampu mentransformasikan nilai-nilai negatif yang muncul dari gejala narsisitik menjadi tren tersndiri dan memberikan nilai positif yang berguna dalam  mengakomodir integrasi kebudayaan dan kohesi sosial di dalam masyarakat.

Identitas Jalanan dalam Pusaran Sirkuit kebudayaan

Mengenai terbentuknya identitas budaya jalanan, tepaknya kita perlu menagamini terlebih dahulu atas apa yang telah dijelaskaskan oleh Paul Du Gray dan Stuart Hall mengenai hubungan antara representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi dalam buku mereka yang berjudul Doing Cultural Studies: The Story of Sony Walkman. Setali tiga uang dengan proses yang dialami oleh tanda bazar tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Stuart Hall dan Paul Du Gray bahwa suatu tanda yang disebut pula sebagai artefak budaya jalanan harus memiliki relasi yang dialogis antara identitas dan konsumsi, sebab dalam artefak tersebut harus ada kontruksi makna yang merepresentasikan identitas konsumen yang ingin dicapai. Dalam hal ini tentu saja yang berperan sebagai pelaku dan konsumen adalah masyarakat itu sendiri. Maka, kelima aspek dalam sirkuit kebudayaan berangkat dari dalam.

Sehingga jika boleh mengklaim secara sepihak, budaya tanda jalanan yang diinisiasi oleh masyarakat surabaya merupakan indigenous culuture yang bisa diklaim keberadaanya. Selain itu, secara holistik keberadaan fenomena yang tidak lazim kita temukan di kota-kota lain ini mampu dirumuskan menjadi sebuah strategi kebudayaan tersendiri, sebagai sebuah integrasi sosial dan khazanah kebudayaan untuk dikembangkan sebagai bentuk ketahanan dan pemertahanan masyarakat sipil terhadap arus besar globalisasi.

Berita Terkait

Muhammad Fuad

Muhammad Fuad

Penulis adalah mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, angkatan 2017. Penggiat literasi, tinggal di: muhammad.fuad.izzatulfikri-2017@fib.unair.ac.id