Fenomena Post-Truth dan Echo-Chamber dalam Kontestasi Politik Jokowi-Prabowo di Medsos

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh akurat co

Kontestasi politik antara Jokowi-Prabowo adalah salah satu isu panas yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir. Situasi ini setidaknya disebabkan dua hal, pertama karena maraknya penggunaan media sosial (medsos), dan kedua, karena merebaknya fenomena post-truth dan echo-chamber (PT-EC).

Medsos kini telah menjadi replika dari “ruang publik” di dunia nyata. Melalui kuasa teknologi informasi, komunikasi melalui medsos lebih cair, egaliter, dan tak terbatas ruang-waktu. Medsos juga lebih efisien dan murah, karena apa yang disampaikan; ujaran, verbal dan visual dapat disimpan, direproduksi berulang kali dengan jumlah yang tak terbatas dan tersampaikan secara instan.

Namun, medsos juga menyimpan paradox. Medsos berpotensi menjadi “ladang” subur bagi membiaknya informasi, ujaran, pernyataan, verbal, visual, gambar gerak yang sifatnya palsu, manipulatif (hoax/fakenews), sesat nalar (logical fallacy), berbau kebencian (hate speech), dan kekerasan (bullying). Ironisnya informasi macam inilah yang akhir-akhir ini turut andil besar dalam membentuk opini publik.

Pembentukan dan penggiringan opini publik yang secara tradisional dilakukan oleh media mainstream (jurnalisme), di era internet seperti ini telah digantikan medsos. Individu atau masyarakat daring (baca: netizen) dapat memproduksi, memanipulasi sebebasnya, dan menyebarkan informasi dengan daya sebar yang tak kalah dasyat dengan media mainstream. Persoalannya tidak semua informasi yang diseminasi netizen benar dan obyektif. Tak sedikit yang dibuat demi kepentingan pribadi dengan tujuan negatif.

Akibatnya, muncullah sebuah situasi dimana informasi benar dan obyektif “kalah” dengan informasi palsu, namun lebih dipercayai. Hal ini diperparah ketika informasi tersebut dibuat dalam bentuk pesan yang lebih bisa menyentuh emosional dan dilesakkan secara berulang-ulang. Di sini kebenaran akhirnya menjadi bias, terdistorsi dan relatif, sehingga sulit dibedakan mana benar-mana salah, mana fakta mana fiksi, dan mana jujur mana penipuan. Kebenaran ditetapkan atas dasar kekuatan dalam mempertahankan klaim subyektif ketimbang ditentukan atas dasar hasil proses diskurisf yang rasional. Fenomena inilah yang akhir-akhir ini disebut sebagai fenomena post truth.

Mengapa fenomena post-truth ini merebak, salah satunya karena prilaku pengguna media sosial sendiri yang kadangkala cenderung egois, yaitu hanya memproduksi atau mengkonsumsi informasi yang memenuhi preferensinya saja. Terlebih di era ketika individu dibanjir informasi tetapi hanya memiliki minim waktu untuk menelaahnya. Individu akan memilih informasi yang dapat diketahui isinya secara instan dan bisa memenuhi selera hatinya. Informasi verbal yang bentuknya monoton apalagi mengandung hal-hal yang dibenci akan ditinggalkan.

Sikap pengguna medsos macam ini ironisnya diakomodir platform medsos yaitu dalam bentuk menghadirkan informasi yang memenuhi selera member medsos. Mesin algoritma akan mendeteksi riwayat digital membernya, lalu menyediakan sekaligus menyortir segala informasi bagi membernya. Ketika member medsos masuk pada ruang yang diisi dengan apa yang disukainya saja, maka sebenarnya mereka itu telah dijebak dalam “kantong” bernama “Echo-Chamber” atau ruang gema. Artinya yang didengar, dilihat, dan dibaca di ruang itu hanya informasi yang sesuai preferensinya saja. Individu akan mendengar beragam suara, namun semua itu substansi isinya sama.

Di satu sisi, situasi ini membuat member medsos senang (ectasy), tetapi di sisi lain, bila dibiarkan terus menerus maka akan menumpulkan kekritisan member medsos itu sendiri. Member medsos akan sulit membedakan mana yang benar dan salah, karena semuanya seragam. Puncaknya member itu hanya akan mengejar pemuasan preferensi informasi saja. Member medsos akan menerima apa saja selama itu disukai, terlepas informasi tersebut palsu, mengandung kebencian, sesat logika, propaganda berlebihan, provokatif, dan mengandung kekerasan. Di sinilah tanda-tanda fenomena PT-EC telah merasuki individu pengguna medsos.

Fenomena Post Truth dan Echo-Chamber dalam Kontestasi Politik 2019

Sejauh apakah fenomena PT-EC merasuki medsos Indonesia? Dalam kasus kontestasi politik antara kubu Jokowi dan Prabowo tahun 2014-2019, fenomena ini terjadi di hampir semua platform medsos. Pada salah satu platform medsos yang populer digunakan yaitu Facebook (FB), PT-EC tampak beroperasi sangat massif. Hal ini dapat dilihat setidaknya dari tiga faktor, yaitu; dari banyak munculnya ruang gema di dalam platform ini, dari bentuk dan isi pesan yang mendominasi lini masa di dalam ruang gema tersebut.

FB adalah “kantong” raksasa yang sejatinya merupakan ruang gema, yang di dalamnya masih terdapat lagi “kantong-kantong” kecil lain bernama “group” atau “fanpage”. Individu yang telah masuk dalam kantong-kantong  ini akan mendapatkan informasi yang “dipilihkan” oleh FB.

Dalam kontestasi politik Jokowi-Prabowo 2019, ditemukan terdapat puluhan “kantong” dalam bentuk groupgroup kecil yang berafiliasi pada masing-masing kubu. Masing-masing grup tampak diikuti puluhan ribu member, yang bila dihitung, grup yang terafiliasi pada Jokowi berjumlah 94 grup dan yang terafiliasi pada Prabowo berjumlah 101. Sebuah jumlah yang tak bisa dikatakan sedikit, yang diperkirakan membernya akan menembus angka jutaan member, yang artinya ada minimal satu juta orang Indonesia yang “berkubang” dalam ruang gema, dan dengan sendirinya berpotensi terpapar fenomena PT-EC.

Kedua, dilihat dari bentuk pesannya, bentuk pesan yang mendominasi lini masa pada dua grup yang diambil sebagai sample; grup “Loyalis Jokowi-Ahok” yang berafiliasi pada Jokowi dengan member 222.639 dan grup “Prabowo for NKRI” dengan member 736.076, adalah bentuk ujaran, meme, dan visual. Sementara yang bentuk berita atau wacana ada, namun jumlahnya amat minim.

Bentuk atau medium pesan memiliki andil dalam menyentuh sisi emosi pembaca. Pesan yang dikonstruksi dalam bentuk visual, lalu yang dilengkapi dengan narasi, suara, atau gambar gerak akan lebih dipilih pembaca daripada sekedar berbentuk tulisan yang monoton seperti teks atau wacana. “The medium is the message” demikian kata Marshall Mc.Luhan, bahwa bentuk media merupakan sebuah pesan juga yang berpengaruh besar dalam menghasilkan pemaknaan.

Post-truth beroperasi pada bentuk-bentuk pesan yang mudah menyentuh sisi emosi-psikologi pembaca. Makin banyak pembaca dibombardir pesan bentuk ini makin mudah terasuki fenomena PT-EC, terlebih di era saat individu dibanjiri informasi tetapi minim waktu untuk menyimak.

Terakhir dilihat dari isi atau tema pesan, hasil analisis 250-an pesan yang memenuhi lini masa masing-masing grup dalam satu hari menunjukkan bahwa sebagian besar isi atau tema pesan ternyata didominasi pesan yang tidak sehat.  Pada grup yang terafiliasi Jokowi isi pesan didominasi tema propaganda/kampanye, diikuti tema kebencian, kritikan dan nyinyiran. Pesan yang bertema diskursif yang dibuat dengan fakta rasional seperti berita amat minim. Bahkan pesan bertema propaganda (pada Jokowi dan kubunya) menduduki porsi signifikan 53% (sisanya kritik, nyinyiran, ujaran kebencian, polling, dan berita). Propaganda dalam jumlah wajar tidak akan memberikan dampak negatif. Tetapi bila berlebihan, terlebih dibuat dengan fakta palsu akan membuat individu sebagai pemuja yang tak rasional.

Sementara itu pada grup terafiliasi Prabowo pun setali tiga uang. Bukan didominasi propaganda, melainkan didominasi pesan bertema nyinyir, kritik, dan ujaran kebencian yang porsinya menduduki 49%. Porsi yang dapat dikatakan cukup signifikan pula. Serupa propaganda, tema nyinyiran, kebencian, dan kritik sejatinya juga propaganda hanya propaganda yang negatif.  

Pada dua tema dominan tersebut, fenomena post truth beroperasi secara maksimal. Post-truth bersembunyi di dalam pesan pesan yang menyasar sisi emosi dan psikologis seseorang. Yang berbahaya adalah bila individu tidak kritis dan mengkonsumsi informasi bertema ini terus menerus. Individu akan kesulitan menentukan mana fakta yang benar dan salah, dan puncaknya dapat menyulut tindakan negatif di dunia nyata.

Solusi menghadapi fenomena Post-truth dan Echo-chamber

Fenomena PT-EC bukanlah ilusi. Berdasarkan hasil dari analisis data fenomena ini telah marak dan berkebang massif selama terjadinya kontestasi politik Jokowi-Prabowo. Diprediksi fenomena ini akan terus berkembang seiring meningkatnya pemanfaatan medsos sebagai salah satu moda komunikasi terkini. Satu hal yang perlu disadari pengguna medsos adalah bahwa mereka sebenarnya telah masuk ke dalam ruang gema ketika mereka bermedsos. Agar mereka tidak terlalu dirasuki fenomena PT-EC setidaknya ada dua langkah yang perlu diambil; pertama kritis terhadap informasi yang dikonsumsi dan kedua, membuka diri terhadap informasi dari berbagai sudut pandang yang berlawanan sekalipun dengan preferensi yang dimiliki.***

Penulis: Moh. Gandhi Amanullah, Syahrur Marta Dwisusilo

Rujukan jurnal Scopus dan link terkait tulisan di atas: https://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/24122

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).