UNAIR NEWS – Pengembangan karyawan menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian departemen SDM di organisasi saat ini. Pasalnya, semakin banyak organisasi yang membutuhkan karyawan dengan pengetahuan dan keterampilan yang up to date.
Mengenai hal itu, Dr. Praptini Yulianti, SE, Msi., dosen FEB Universitas Airlangga, melakukan kajian mengenai paradoks pengembangan karyawan. Menurutnya, dengan pengembangan karyawan, organisasi dapat meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja, meningkatkan performa, dan menciptakan competitive advantage.
“Investasi pengembangan karyawan ini berkontribusi pada terciptanya persepsi positif dari karyawan terhadap perusahaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memperkuat keinginan untuk bekerja lebih keras untuk memberikan kontribusi pada organisasi,” jelasnya.
Disisi
lain, sambung Praptini, pengembangan
karyawan juga dapat
menimbulkan adanya risiko bagi organisasi.
Pasalnya, hal itu dapat
menimbulkan turnover dan biaya penggantian tenaga kerja.
“Banyak kesempatan di pasar tenaga kerja maka
karyawan akan mengambil tawaran kerja baru sebelum organisasi mendapatkan keuntungan dari investasi yang sudah
dikeluarkan,” tandasnya.
Selanjutnya, ia juga menjelaskan perihal perceived internal
employability dan intensi
turn over. Menurutnya, perceived internal
employability atau kesempatan kerja yang tersedia di dalam organisasi dengan menghargai
kompetensi karyawan. Perceived
internal
employability, tandasnya, merujuk pada intensi mobilitas
karyawan untuk dapat dipindah baik secara lateral pada departemen yang berbeda
dalam organisasi maupun dipindah untuk promosi jabatan sesuai peningkatan
kompetensi karyawan.
“Karyawan yang telah mendapatkan pengembangan sehingga knowledge dan skill meningkat akan menilai bahwa dirinya wajar mendapatkan intensi mobilitas dalam organisasi,” tuturnya.
Perceived internal employability dapat digunakan sebagai program retensi karyawan sehingga akan menurunkan turn over karyawan. Tidak hanya itu, ia juga mengulas tentang job autonomy yang memooderasi hubungan perceived employability dengan intensi turn over. Job autonomy, jelasnya, adalah pemberian kewenangan karyawan dalam membuat keputusan dalam melaksanakan tugas, karyawan akan merasakan dilibatkan dalam pekerjaan sehingga akan meningkatkan motivasi untuk tetap tinggal pada oreganisasi dan menurunkan niat intensi turn over.
“Dari hal tersebut kami lakukan kajian dan hasilnya adalah pengembangan karyawan tidak berpengaruh langsung pada intensi turnover, perceived internal dan external employability memediasi secara penuh hubungan pengembangan karyawan dengan intensi turn over,” jelasnyanya. “Sedang job autonomy memperkuat hubungan perceived internal employability dengan intensi turnover dan job autonomy memperlemah hubungan perceived external employability dengan intensi turnover,” pungkasnya.
Penulis: Nuri Hermawan
Editor: Khefti Al Mawalia
Referensi:
https://journal.perbanas.ac.id/index.php/jebav/article/view/1252
Praptini Yulianti and Cecilia Margaretha (2019). A paradox: employee development and intention to turnover. Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura 22 (1), 9-20; http://dx.doi.org/10.14414/jebav.v22i1.1252