Romo Benny Susetyo : Indonesia Akan Kehilangan Arah dalam Merawat Multikulturalisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
DANIEL Theodore Sparingga, Drs., M.A., Ph.D. (kiri), Romo Antonius Benny Susetyo, Pr (tengah), Akhol Firdaus. S.Ag., M.,Pd (tengah) dan Moderator Novri Susan, S.Sos., M.A.,Ph.D. (kanan) pada Rabu (23/10/2019) di Aula Soetandyo FISIP Unair. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) menggelar Seminar Nasional yang bertajuk “Multikulturalisme di Indonesia : Relevansi dan Tantangan” pada Rabu (23/10/2019) di Aula Soetandyo FISIP Unair. Seminar nasional tersebut mengundang tiga pembicara sebagai praktisi dalam berbagai bidang yang bersinggungan dengan multikulturalisme di Indonesia. Di antaranya Daniel Theodore Sparingga, Drs., M.A., Ph.D., selaku Akademisi dari Sosiologi Unair, Akhol Firdaus. S.Ag., M.,Pd selaku Direktur Institude for Javanese Islam Research, dan Romo Antonius Benny Susetyo, Pr selaku Staff Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

“Sepanjang sepuluh tahun kita telah mengalami krisis intoleransi karena banyak kasus intoleransi itu gamang diselesaikan oleh pihak pemerintah dengan siapa pun presidennya,” ujar Romo Benny Susetyo.

Romo sapaan akrabnya menuturkan bahwa multikulturalisme merupakan cara berpikir, bertindak dan berelasi bahwa Indonesia terdiri dari bermacam-macam etnis, suku, bahasa, dan agama. Multikulturalisme sebagai sebuah etika ajaran merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang keragaman atas berbagai entitas sosial yang berciri kolektif semestinya dikelola dalam ruang publik.

“Problem kita pada hari ini multikulturalisme yang dulu tidak pernah menjadi masalah kini dipermasalahkan. Ancaman bangsa kita menghadapi realita baru yakni zaman digitalisasi bukan lagi fakta yang penting, namun persepsi setiap orang yang menentukan makna dari multikulturalisme,” tambahnya.

Masalah pluralisme di Indonesia dewasa ini mengarah pada beberapa hal yang menyangkut identitas agama, seperti halnya aksi kekerasan terhadap rumah ibadah, kekerasan kemanusiaan, dan menganggap keyakinan sendiri paling benar.

“Agama merupakan modal simbolik yang memiliki hegemoni yang cukup kuat, namun persoalannya agama tidak lagi ditaksir secara ke Indonesiaan tetapi ditaksirkan sebagai otoritas kepentingan pribadi. Apabila terus dibiarkan, kian lama Indonesia akan kehilangan arah dalam merawat multikulturalisme,” tambahnya.

Sentimen dalam suku, agama, ras dan antar golongan semakin menguat menjadi politik identitas yang dipelihara dalam menentukan suatu pilihan. Ancaman bangsa Indonesia kini kian meluas karena akses terhadap sentimen tersebut telah dipermudah menggunakan media sosial. Sehingga penanganan yang tepat atas krisis identitas yang terjadi yaitu pembentukan konter wacana isu-isu SARA. (*)

Penulis : Rissa Ayu F

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).