Menteri dan Manajemen Talenta Perguruan Tinggi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh law justice

Terlepas dari hak prerogatif yang dimiliki Presiden mengangkat menteri yang akan membantunya, dua hari terakhir cukup heboh di kalangan pendidikan tinggi (PT). Penentu kebijakan untuk dunia pendidikan yang biasanya diisi oleh akademisi (dan Rektor), diisi oleh talenta dari luar. Tentu Presiden memiliki pertimbangan tersendiri, salah satunya penciptaan lapangan kerja serta link and match yang dirasa cukup lemah dengan industri yang ada. Terbukti dengan tingginya proporsi pengangguran terdidik di Indonesia.

Tulisan ini tidak menyoroti hal tersebut, namun pertanyaan yang muncul dari civitas academika, berapa akademisi dari kampus mereka yang menjadi menteri?

Di negara lain, sangat lazim gengsi dan reputasi perguruan tinggi salah satunya ditentukan seberapa banyak lulusan mereka yang menjadi pemimpin publik, baik presiden, perdana menteri, maupun menteri. Misalnya, 8 Presiden Amerika Serikat (AS) adalah lulusan Harvard, sedangkan Yale meluluskan 5 mahasiswa yang nantinya menjadi Presiden AS. Tujuh belas perdana menteri Jepang berasal dari University of Tokyo, termasuk 16 pemenang Nobel. Di Indonesia, beberapa universitas juga memiliki spesialisasi dalam menyumbangkan akademisinya pada bidang tertentu, misalnya siapapun presidennya, Menteri Keuangan (dan menteri bidang perekonomian lainnya) Republik Indonesia selalu berasal dari Fakultas Ekonomi (dan Bisnis) Universitas Indonesia (FE(B) UI).

Kalau kita lihat track record menteri keuangan, sebagian besar berangkat dari pusat kajian yang dimiliki oleh FE UI, yakni Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Misalnya, Muhammad Chatib Basri (menkeu periode 2013-2014), pernah menjadi Associate Director for Research dari LPEM, kemudian konsultan Bank Dunia dan lembaga-lembaga global lain, baru ditunjuk menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebelum menjadi Menkeu.

Ibu Sri Mulyani juga relatif sama, menjabat sebagai Kepala LPEM FE UI sejak tahun 1998, sebelum diangkat menjadi Direktur Eksekutif IMF tahun 2002-2004, baru menjadi Menkeu 4 periode (2 periode pada era Presiden SBY, dan 2 periode pada era Presiden Joko Widodo). Pak Bambang PS Brodjonegoro (satu almamater dengan Ibu Sri Mulyani) juga mengawali kariernya di LPEM FE UI, diperkaya oleh pengalaman menjadi konsultan lembaga-lembaga global dan tentunya Dekan FE UI, sebelum diangkat menjadi Menkeu, Men PPN/BAPPENAS, dan sekarang Menteri Riset dan Teknologi serta Kepala Badan Riset Inovasi Nasional.

Dari kondisi tersebut, selain memiliki background keilmuan yang kuat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan PT untuk grooming akademisi kita di kabinet:

  1. Memiliki pusat studi yang sangat kuat. PT yang reputasinya tinggi pasti memiliki pusat-pusat studi yang menjadi acuan bagi kebijakan-kebijakan strategis yang akan diambil oleh negara. Seperti LPEM FE(B) UI, dimana ekonom-ekonom melakukan kajian-kajian berdasarkan data yang dimiliki dan memberikan rekomendasi-rekomendasi pada isu-isu strategis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Jika yang dibahas dan dikaji adalah isu-isu lokal, jangan berharap ada akademisi yang menjadi menteri. Kata kuncinya, pusat studi yang fokus untuk mengkaji isu-isu strategis bangsa.
  2. Talent pool pada isu-isu strategis yang menjadi competitive advantage PT tersebut. Setiap PT pasti memiliki daya saing dan core competence yang relatif bagus dibandingkan lainnya. Dan core competence tersebut didukung keberadaan pakar-pakar yang handal. Ketika pakar tersebut diminta oleh Presiden (baik sebagai menteri atau setingkat menteri), juniornya telah siap menggantikan. Organisasi yang sehat pasti memiliki proses regenerasi yang sehat pula.
  3. Talent grooming yang sehat, baik dari institusi, senior, peers, dan tentunya yang bersangkutan. Senior yang memiliki posisi memberikan kesempatan kepada juniornya untuk ikut berkontribusi dan mengembangkan networking dan managerial skills-nya. Institusi memberikan ruang untuk talenta yang sedang di-groom untuk berkembang, dengan tidak memberikan beban yang sama dengan dosen lain di kegiatan dalam kampus. Hal ini akan membentuk academic climate yang suportif, baik di departemen, fakultas, maupun universitas. Bilamana ada revenue yang dibawa, tentu institutional fees dan lain-lain bisa dikompromikan. Peers, khususnya di internal kampus, juga memahami dan legowo bahwa proses talent grooming sedang dilakukan untuk beberapa koleganya. Tentunya, yang bersangkutan (talenta) harus menjawab kepercayaan kolega, senior, maupun institusi untuk memberikan yang terbaik dalam proses tersebut.
  4. Pengembangan social capital (cognitive, structural, dan relational capital), baik oleh institusi dan yang bersangkutan. Jarang terekspos bahwa masing-masing talenta yang akan di-grooming, pasti memiliki tim yang men-support data, informasi, dan grafis yang menarik untuk ditampilkan, disamping analisis dan rekomendasi yang berbobot. Sebagus apapun kajiannya, tanpa ada jejaring di media maupun kementerian teknis yang menjadi target, akan sangat sulit talenta tersebut untuk “bergema” dan dipilih oleh Presiden.

Opini ini ditulis sebagai salah satu alternatif pemikiran, bahwa masih banyak room for improvements yang harus dilakukan untuk menjadikan akademisi kita berkontribusi di level nasional. Sudah waktunya kampus kita menyiapkan talenta-talenta terbaik untuk berkontribusi di level nasional dan menyiapkannya sejak dini dan tersistematis.

Berita Terkait

Badri Munir Sukoco

Badri Munir Sukoco

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) Universitas Airlangga