KPK Lembaga Antikorupsi Tercanggih, Jangan Sampai Digembosi RUU

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Taufik Rachman. SH., LL.M, PhD. (kiri) memaparkan tentang RUU KPK. (Foto: Fida Aifiya Chusna)

UNAIR NEWS – Menanggapi terbitnya berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ramai belakangan ini, Human Rights Law Studies (HRLS) menyelenggarakan rangkaian diskusi ‘Membongkar Kabut Legislasi’. Rangkaian diskusi tersebut berlangsung dari tanggal 3 hingga tanggal 11 Oktober 2019, masing-masing membahas topik sesuai RUU yang terbit.

Diskusi yang diselenggarakan di Gedung C Fakultas Hukum (FH) UNAIR itu menarik perhatian akademisi dan aktivis dari berbagai institusi.

Salah satu RUU yang dibahas dalam seri diskusi tersebut adalah RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK). RUU KPK dianggap melemahkan KPK dan tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.

Taufik Rachman, SH., LL.M, PhD menyatakan bahwa ada banyak sekali poin-poin kontroversial dalam RUU KPK. Ia memaparkan, tiga di antaranya adalah posisi dilematis antara RUU yang melemahkan KPK dan kredibilitas ketua baru KPK yang diperdebatkan; proses pembuatan RUU yang menyalahi public policy; dan pembentukan Dewan Pengawas.

Umumnya, publik menolak RUU KPK karena dianggap melemahkan KPK. Tapi di sisi lain, bersamaan dengan naiknya RUU yang melemahkan KPK, ada pergantian ketua KPK dengan track record berbagai pelanggaran etika. Ini menjadi dilema karena jika keukuasaan KPK ingin dipertahankan, diperlukan pula sosok ketua yang kompatibel.

Dalam proses penyusunan hingga pengesahan legislasi, ada siklus yang tidak boleh putus. Jika putus, harus kembali dari awal. Naskah akademik RUU KPK dibuat tahun 2011, kemudian siklusnya sempat terputus, tapi ‘dibangkitkan’ lagi tahun 2019. Ini merupakan bentuk pelanggaran public policy dalam pembentukan legislasi.

Ide pembentukan Dewan Pengawas berangkat dari anggapan bahwa KPK perlu diawasi. Tetapi menurut Dr. Taufik, Dewan Pengawas itu sejatinya tidak perlu karena KPK sudah memiliki Dewan Etik yang menjalankan fungsi pengawasan internal.

Ide pengawasan KPK dengan Dewan Pengawas berangkat dari ‘silogisme eksekutif’. KPK disamakan dengan Kejaksaan dan Polri. Padahal KPK adalah lembaga negara independen, tidak berada di bawah eksekutif.

Sebelum RUU ini, KPK adalah lembaga pemberantasan korupsi dengan bentuk yang canggih dan termasuk pionir di dunia. “Bahkan negara-negara lain itu ingin punya lembaga seperti KPK ini,” kata Dr. Taufik. “Tapi nggak tahu, kalau habis RUU ini jadinya bagaimana,” tambahnya. (*)

Penulis: Fida Aifiya Chusna

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).