Kepala BNPB 2008: Jangan Sampai Prosedur Menghalangi Keinginan Menolong

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2008-2015 Prof. Syamsul Ma’arif menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk Antisipasi dan Penanganan Bencana yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga (UNAIR), pada Selasa (08/10). (Foto: Alif Fauzan)

UNAIR NEWS – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2008-2015 Prof. Syamsul Ma’arif hadir dalam seminar nasional bertajuk Antisipasi dan Penanganan Bencana yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga (UNAIR), pada Selasa (08/10). Seminar itu digelar di di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen UNAIR.

Prof. Syamsul Arief membuka diskusi dengan menjelaskan pandangan teknikalitis. Dia menjelaskan bahwa terjadinya bencana itu sebetulnya tergantung dari masyarakat. “Sebenarnya bencana itu bisa kita hindari,” tutur Prof. Syamsul.

Lalu dia menjelaskan betapa pentingnya socio scince dipadukan dengan neuro science. Menurutnya, socio science perlu dimasukkan di semua kompetensi bidang keilmuan. Ia juga mengungkapnya perlunya sistem dimana orang-orang bidang sosial memasuki sektor di bidang sains.

Prof. Syamsul menegaskan bahwa procedure heavy jangan sampai mengurangi semangat terhadap substance heavy. “Bayangkan kalau kita mau menolong orang tetapi takut terhadap prosedur,” ujarnya.

Berani Ambil Risiko

Kriteria pemimpin menurut Prof. Syamsul adalah harus berani mengambil risiko. ”Kalau pemimpinnya itu tipe orang yang cari selamat, terus kapan budale,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Prof. Syamsul menyarankan narasi baru untuk Jawa Timur perihal penanganan bencana, yaitu JATIM SIGAP yang bermakna Jawa Timur Siaga Bencana. “JATIM SIGAP tersebut nantinya menggabungkan antara procedure heavy dengan substance heavy,” tuturnya.

Dikatakan Prof. Syamsul bahwa terdapat Gerakan Memanen Air Hujan Indonesia. Yakni gerakan yang percaya bahwa air hujan itu bisa dimanfaatkan. “Air hujan itu anugerah dari Tuhan, harus dimanfaatkan sebaik mungkin,” ucapnya.

Saat ini, kebanyakan masyarakat meninggikan bangunan demi terhindarnya banjir. “Rumah ditinggikan, air hujannya dibuang ke tetangganya. Harus ada sumber resapan,” tegasnya.

Jika mendiskusikan tentang gempa, Prof. Syamsul berpendapat seharusnya masyarakat harus mengubah mindset bahwa gempa tidak mematikan. Namun bangunannya yang bisa mematikan. “Kampanyenya itu bukan gempanya yang mematikan, tetapi bangunannya,” tegasnya.

Di akhir, Prof. Syamsul menarik kesimpulan arti bencana dari bahasa Cina. Bahwa bencana itu sebuah opportunity sebagai ilmu untuk masa depan. (*)

Penulis : R. Dimar Herfano Akbar

Editor : Binti Q Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).