Barter di Era Milennial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh campaign us

Tidak perlu menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk mengetahui pengertian dari barter. Rasanya, kita semua telah mendapatkan pengetahuan umum ini di bangku Sekolah Menengah Pertama, atau bahkan Sekolah Dasar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), barter merupakan kata kerja yang artinya perdagangan dengan saling bertukar barang. Dahulu, barter dilakukan sebagaimana  pengertian harfiahnya, namun sejak 560-546 sebelum Masehi di mana Croesus menciptakan penemuan yang mengubah dunia secara massif, sejak itulah uang mulai digunakan sebagai pengganti barang dalam barter.

Dengan bergesernya pengertian barter yang awalnya pertukaran barang dengan barang menjadi barang dengan uang senilai sama, maka bergeser pula fungsi barter. Awalnya barter yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain menjadi media untuk bertukar nilai dan manfaat dalam bentuk yang lebih general dan praktis. 

Selama value yang didapatkan sama, maka barter masih akan terus digunakan bagi manusia yang memang pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya.

Namun belakangan, masyarakat media sosial yang kerap disebut netizen tengah dihebohkan dengan kabar di mana barter yang tidak seimbang telah ditawarkan oleh influencer dengan praktisis bisnis. Dengan senapan jemari, netizen ‘yang budiman dan selalu benar’ langsung saja menghujat kesana-kemari, menganggap perbuatan ini tak pantas dan tak sebanding, influencer berkedok minta gratisan, kutip mereka di balik akun-akun bodong Instagram.

Jika memang budiman, tentu tidak sepantasnya netizen melakukan cyber bullying meski secara implisit, mengingat apa yang mereka lihat sangat terbatas dengan layar smartphone masing-masing. Setidaknya ada beberapa keyword dari permasalahan yang sempat viral pada akhir Agustus 2019 lalu, di antaranya yang paling menarik adalah: exposure.

Bukan, exposure yang ramai menjadi headline bukanlah exposure yang mengatur kecerahan kamera, namun exposure dalam artian yang berbeda. Dilansir laman tanya jawab mpsocial.com, mindeswx menjelaskan secara singkat bahwa exposure dalam akun Instagram adalah pandangan Instagram atasjangkauan pemilik akun dan persentase pengikut pemilik akun yang akan ditampilkan atas tiap konten baru yang diunggah. Sederhananya, exposure dalam Instagram adalah seberapa besar probabilitas sebuah akun dapat menjangkau akun lain yang bahkan tidak mengikutinya.

Hal lain yang sangat erat kaitannya dengan exposure adalah jumlah engagement dan reach yang oleh Instagram sendiri masing-masing diartikan sebagai jumlah akun unik yang telah ‘menggapai’ –melihat, Red- postingan pemilik akun dan jumlah akun unik yang berinteraksi dengan akun pemilik, baik melalui komentar, tombol suka, maupun tombol menyimpan. Semakin tinggi angka yang ditunjukkan dalam fitur engagement dan reach, maka semakin tinggi pula exposure yang dimiliki akun tersebut.

Namun, pertanyaan lain yang muncul adalah, apakah exposure bisa digunakan sebagai salah satu mata uang dalam proses barter value? Kurang lebih, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: ya.

Sistem barter antara barang dan jasa dengan esposure merupakan hal lumrah dalam dunia bisnis influencer terutama yang mengandalkan akun sosial media sebagai ‘senjata’ utamanya. Dengan exposure, maka pegiat bisnis akan mendapatkan perhatian lebih besar saat para influencer menggunakan barang atau jasanya kemudian memberikan review positif jika dibandingkan dengan mengunggah di akun pegiat bisnis sendiri. Cara ini jauh lebih instan dan anti ribet, tagline yang digemari millennial untuk mempermudah kehidupan.

Meski begitu, tetap saja ada resiko yang ditawarkan dari sistem barter ini. Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira, dilansir oleh kumparan.com, menilai ada resiko besar di balik pemanfaatan exposure mengingat bisnis di media sosial relatif berjangka waktu pendek. 

Untuk meminimalisisr hal ini, harus ada hitam di atas putih yang disetujui oleh kedua belah pihak. Kontrak ini yang nantinya menjadi dasar yang kuat di mata hukum apabila salah satu dari kedua belah pihak melanggar. Influencer perlu mempresentasikan seberapa besar exposure di bawah namanya sebagaiman pegiat bisnis mengenalkan produknya.  Jangan hanya berkomunikasi lewat platform chat  yang rentan kesalahpahaman dan mudah direkayasa. Jangan lupa juga unggah-ungguh, attitude yang harus tetap diimplementasikan karena bagaimanapun, komunikasi merupakan jantung dari bisnis kerjasama yang sukses. Harus ada simbiosis mutualisme yang kuat antara influencer dengan pegiat bisnis, jangan sampai di kemudian hari ada yang merasa dirugikan hingga harus mengorek-ngorek chat lama yang bisa jadi aib bagi keduanya di kemudian hari.

Berita Terkait

Tsania Ysnaini Mawardi

Tsania Ysnaini Mawardi

Kepala Departemen Ekonomi Kreativ KM PSDKU UNAIR Banyuwangi 2019 Mahasiswa Akuntansi PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi