Kisah Mahasiswa Difabel Jalani Perkuliahan di UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Alfian Andhika Yudhistira mahasiswa difabel prodi Antropologi FISIP UNAIR memberikan materi pada acara Simposium ‘Menuju Kampus Ramah DIfabel’. (Foto: Sukma)

UNAIR NEWS – Menjadi seorang difabel tak membatasi seseorang untuk berkembang dan berprestasi. Meskipun memiliki kekurangan, masih banyak bakat dan kemampuan yang bisa diasah untuk menjadi bermanfaat. Alfian Andhika Yudhistira, mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga berhasil membuktikan hal itu.

Mahasiswa angkatan 2016 itu turut membagikan kisahnya pada simposium nasional bertajuk “Menuju Kampus Ramah Difabel” yang diadakan di aula gedung Nanizar Zaman Joenoes, Kampus C UNAIR. Pada acara yang diadakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR tersebut, Alfian membagikan pengalaman seputar kehidupan perkuliahannya di UNAIR.

“Saya masuk UNAIR pada tahun 2016 dan saya adalah totally blind pertama di UNAIR, sehingga masih banyak hambatan. Airlangga Inclusive Learning juga belum dibentuk pada saat itu,” buka Alfian.

Saat kegiatan ospek atau Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB), Alfian sempat diberi pita merah yang menyatakan bahwa seseorang berada dalam kondisi sakit dan memerlukan pendampingan. Alih-alih marah dan melayangkan protes, Alfian menanggapi hal tersebut dengan tetap mencoba menjalani seluruh kegiatan dengan baik. Ia bahkan mendapat kesempatan untuk berorasi pada suatu acara simulasi.

“Saya bertekad untuk mengerjakan semua tugas dengan baik. Saya juga selalu datang tepat waktu dan aktif dalam forum. Setelah itu, mereka menyadari bahwa persepsi mereka salah dan disabilitas juga bisa,” ungkapnya.

Dalam menjalani kehidupan perkuliahan, Alfian mengaku memiliki cara sendiri dalam mengerjakan tugas dan ujian. Ia mengandalkan perangkat laptop yang ia miliki untuk membantunya mengerjakan tugas.

“Jadi saya mengomunikasikan dengan dosen yang bersangkutan. Untuk ujian biasanya saya meminta dosen untuk mengirimkan via email kemudian akan saya jawab melalui laptop dengan perangkat yang bisa membantu saya,” ujar Alfian.

Selain dosen, Alfian mengungkapkan bahwa teman-temannya juga memiliki awareness yang tinggi. Hampir seluruh teman sekelas Alfian bisa membantu menjadi volunteer. Tak jarang mereka membantu Alfian dalam memahami presentasi ataupun materi yang disampaikan dosen.

Menurut Alfian, seorang difabel harus memiliki tekad dan kemauan yang kuat. Selain itu, penyandang disabilitas harus berani nekad, namun harus tetap bertanggung jawab. Penyandang disabilitas juga harus mandiri dan tidak boleh hanya mengandalkan bantuan dari volunteer.

“Sebagai seorang difabel bersosialisasi juga menjadi hal yang penting. Aktif di kelas, aktif bergaul dengan teman, hal-hal tersebut penting untuk dilakukan,” ujar Alfian.

 “Kebanyakan teman-teman difabel merasa lebih nyaman jika bergaul dengan sesama difabel. Menurut saya, ada baiknya jika kita juga mencoba untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang tidak difabel,” lanjutnya.

Menurut Alfian, yang terpenting adalah mahasiswa difabel harus ikut mengawal upaya kampus dalam mewujudkan kampus ramah difabel. Mahasiswa difabel harus memiliki inisiatif untuk menghubungi lembaga terkait dan menawarkan bantuan yang bisa dilakukan. Dengan adanya kerja sama dari berbagai pihak terkait, diharapkan UNAIR bisa segera mewujudkan dan mengimplementasikan kampus ramah difabel. (*)

Penulis : Sukma Cindra Pratiwi

Editor : Binti Q Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).