Diskusikan Etnis Tionghoa, Ilmu Sejarah UNAIR Undang Pakar KITLV Isi Kuliah Umum

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ANNE van der Veer (kiri) dan Dosen Ilmu Sejarah Shinta Devi I. S. R., M.A., sedang mempimpin jalannya diskusi kuliah umum di Ruang Siti Parwati, FIB UNAIR. (Foto: Aditya Novrian)

UNAIR NEWS – Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga menggelar kuliah umum pada Kamis (5/9/2019). Menariknya, tema yang diangkat dalam kuliah umum itu adalah Conciliation or Confrotation? Chinese Responses to Anti Chinese Violence in North Sumatra During  the Indonesian Revolution 1945-1949.

Kegiatan itu mengundang pakar dari KITLV Belanda, Anne van der Veer dan Dosen Ilmu Sejarah Shinta Devi I. S. R., M.A., selaku moderator. Masyarakat Tionghoa pada masa revolusi memiliki dinamika dalam interaksi sosial terutama memihak Indonesia atau Belanda.

Anne menjelaskan bahwa terdapat dua pola reaksi dari masyarakat Tionghoa di Sumatera Timur. Konsiliasi dan konfrontasi menjadi legitimasi masyarakat Tionghoa untuk tetap bertahan hidup pada masa revolusi fisik.

Konsiliasi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa adalah dengan resolusi konflik secara damai melalui diplomasi dan solidaritas. Sementara konfrontasi yang dilakukan masyarakat Tionghoa lebih menentang pelaku kekerasan dan membalasnya dengan kekerasan.

Chinese have a great power in World War II and joined the United Nations,” ungkap Anne dalam bahasa Inggris.

Dalam pemaparannya, Anne menjelaskan bahwa masyarakat Tionghoa juga memiliki konflik dengan masyarakat Pematang Siantar pada 15 September 1945. Konfrontasi yang dilakukan masyarakat Tionghoa tidak terlepas dari kekuatan militer yang kuat pada waktu itu.

Pendirian Laskar Po An Tui yang memihak pada Belanda memantik kemarahan rakyat Indonesia. Teror yang diberikan juga membuat pejuang bumiputera membenci dan memunculkan anti China.

Karena konflik itu, masyarakat yang tidak tergabung dalam Po An Tui tetap terjalin dengan para komunitas Tionghoa lain di Indonesia untuk  menggagas konsiliasi. Konsiliasi dengan para bumiputera gencar dilakukan untuk melawan kolonial Belanda.

Diakhir sesi, Shinta, selaku moderator memberikan kesimpulan bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia masih mendapat kekerasan dari kaum bumiputera pada masa revolusi fisik. Tetapi masyarakat Tionghoa juga ingin adanya konsiliasai perdamaian terutama membantu kemerdekaan Indonesia dengan membentuk laskar-laskar.

Penulis: Aditya Novrian

Editor: Khefti Almawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).