Identifikasi Kutu pada Kulit Biawak di Taman Nasional Baluran dengan Metode DNA Barcoding

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Biawak. Sumber: National Geographic

Taman Nasional Baluran di Banyuwangi, Jawa Timur, merupakan taman nasional yang cukup ramai dikunjungi. Jumlah pengunjung baik turis domestik dan asing selalu meningkat setiap tahun. Taman nasional ini dikunjungi 11.780 wisatawan pada tahun 2005. Pada tahun 2015, total pengunjung Taman Nasional Baluran mencapai 93 ribu.

Peningkatan jumlah wisatawan ke dalam area taman nasional tidak dipungkiri memberikan banyak dampak positif. Akan tetapi terdapat risiko yang juga muncul. Salah satunya risiko vector borne disease atau penyakit menular melalui vektor. Vector borne disease adalah salah satu penyakit dimana mikroorganisme patogen ditularkan dari individu yang terinfeksi ke individu lain melalui vektor penyakit, kadang-kadang dengan hewan lain yang berfungsi sebagai perantara host.

Beberapa jenis Arthropoda berperan sebagai vektor bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan domestik, hewan liar, dan juga manusia. Beberapa hewan merupakan reservoir mikroba patogen tersebut dan berperan penting dalam penularannya baik intra maupun antar spesies. Dengue, yellow fever, chikungunya, malaria, dan virus zika merupakan contoh penyakit yang dibawa oleh vektor Arthropoda.

Biawak (Varanus spp.) merupakan salah satu hewan yang dapat ditemui baik di Taman Nasional Baluran dan diidentifikasi sebagai host host yang kompeten untuk bakteri kelompok Rickettsia dan protozoa kelompok Hepatozoon. Biawak pada dua taman nasional tersebut terserang ektoparasit berupa kutu (tick) dari kelompok Acarina dan belum teridentifikasi. Kutu dikenal sebagai ektoparasit pada beberapa jenis vertebrata dan bermacam jenis kutu berasosiasi dengan penyebaran penyakit. Identifikasi spesies kutu yang akurat merupakan dasar dari kontrol penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kutu (tick-borne diseases).

Secara sederhana, identifikasi spesies kutu dapat dilakukan melalui pengamatan morfologi. Ciri morfologi pada fase dewasa dapat digunakan sebagai kriteria utama untuk mengidentifikasi kutu ektoparasit. Akan tetapi, pengamatan morfologi menjadi suatu masalah karena spesimen dapat mengalami perubahan morfologi sebelum dan sesudah menghisap darah dari hewan inang atau berada dalam fase pra-dewasa.

Kutu ektoparasit termasuk dalam famili Ixodida yang beranggotakan 900 spesies. Sehingga pengamatan secara morfologi cukup sulit dilakukan dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu, spesies kutu yang berdekatan memiliki kesamaan morfologi yang tinggi dan seringkali sulit dibedakan meskipun dilakukan oleh seorang taksonomis. Suatu metode baru untuk mengidentifikasi spesies telah dikembangkan, yang disebut sebagai DNA barcoding. DNA barcoding merupakan metode taksonomi yang populer saat ini dengan menggunakan marker genetik berukuran pendek pada DNA suatu organisme dan digunakan untuk mengidentifikasi suatu spesimen.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkoleksi kutu pada kulit biawak, yang kemudian dilanjutkan dengan isolasi DNA kutu tersebut, amplifikasi gen cytochrome oxidase subunit I (COI), yang kemudian dilanjutkan dengan analisis urutan basa nukleotida dari gen tersebut. Urutan basa gen COI yang didapatkan kemudian diidentifikasi dengan database pada genbank (www.ncbi.nlm.gov/genbank) untuk mengetahui jenis dari ektoparasit tersebut.

Hasil yang didapatkan dalam riset ini adalah pertama, jenis spesies kutu ektoparasit pada Varanus spp. berdasarkan hasil analisis DNA barcoding menggunakan gen cytochrome oxidase subunit I (COI) di Taman Nasional Baluran termasuk dalam jenis Amblyomma sp. Kedua, jenis ektoparasit Amblyomma sp. ditemukan pada semua bagian tubuh Varanus spp., yaitu kepala, badan, ekor, dan tungkai.

Tujuan yang ingin dicapai adalah deteksi keberadaan mikroba patogen, baik di dalam tubuh ektoparasit ataupun di dalam tubuh Varanus spp. yang juga dilakukan menggunakan DNA barcoding, karena dalam beberapa studi literature menyebutkan bahwa jenis Amblyomma memiliki potensi sebagai inag dari beberapa mikroba pathogen, di antaranya jenis Rickettsia, Borrelia, dan Cowdria ruminantium.

Penulis : M. Hilman Fu’adil Amin

Tulisan detail terkait artikel ini dapat dilihat dalam publikasi kami dihttp://www.envirobiotechjournals.com/article_abstract.php?aid=9479&iid=271&jid=3

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).