Facebook sebagai Wadah Menyampaikan Gagasan dan Gerakan Sosial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – Facebook merupakan paltform media sosial yang banyak dipakai di Indonesia. Sehingga wajar bila penelitian tentang Facebook, khususnya yang dilakukan oleh para akademisi Ilmu Komunikasi, tak terhitung jumlahnya. Salah satu riset terindeks Scopus tentang Facebook dilakukan oleh Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UNAIR Kandi Aryani dengan judul Facebook as Space of Resistance for Indonesian-Postcolonial Identity. Dalam penelitian ini, Kandi memakai perspektif kolonialisme, dengan metode kualitatif untuk melakukan studi media digital.

Facebook merupakan sebuah ekosistem di era media baru. Yang memiliki realitas virtual, yang bisa jadi berbeda dengan realitas faktual di dunia nyata. Facebook sebagai media, memberi peluang bagi pemilik akun untuk bebas menyampaikan ide tanpa terikat editor, gatekeeper, maupun tanpa suntingan kekuasaan pemilik media konvensional yang  sebelum era internet, begitu kuat cengkramannya. Melalui Facebook pula, gerakan sosial dapat ditumbuhkan. Umpamanya, dalam kasus kriminalisasi komisioner KPK Bibit dan Chandra, yang kemudian memopulerkan ungkapan Cicak versus Buaya.

Ilustrasi oleh Dunia Tempo co

Penelitian ini fokus untuk melihat bagaimana para pemilik akun yang negaranya pernah dijajah bangsa lain, mengekspresikan diri dan menunjukkan identitasnya. Riset ini makin menarik karena setelah mengalami penjajahan, Indonesia juga sempat dikuasai rezim Orde Baru yang dikenal “semi otoriter”. Demokrasi memang ada, tapi toh, pemerintah selalu berupaya dengan segala cara melanggengkan kekuasaan hingga 32 tahun.

“Facebook menjadi tempat orang-orang menunjukkan siapa dirinya secara bebas. Juga menjadi wadah menyampaikan gagasan semerdeka mungkin,” kata Kandi.

Pada satu momentum, di mana Facebook masih memiliki kolom keterangan “Religious View” dan “Affiliation”, sejumlah orang juga mencantumkan identitas yang saat penjajahan dan orde baru tidak mungkin berani ditunjukkan. Misalnya, “agnostik” dan “Left”. Artinya, Facebook telah menjadi ruang pembentukan identitas seseorang sesuai yang diinginkannya.

Terlebih, seseorang bisa secara total mencitrakan dirinya tanpa sejarah atau masa lalu yang bisa diukur validitasnya. Sebagai misal, yang bersangkutan memiliki akun sejak 2009, masa lalunya sebelum 2009 bisa diciptakannya sendiri di laman pribadinya. Karater dia pun bisa dikesankan melalui laman Facebook tersebut.

Meski demikian, masih ada logika-logika kolonialisme yang terjadi dalam sistem atau mekanisme Facebook. Hal itu dapat dilihat saat seorang teman, bisa dengan mudah masuk ke wilayah temannya, memberi komentar, dan bereaksi terhadap apa yang menjadi pemikiran atau apa yang dilakukan oleh teman tersebut. Saat membuka akun Facebook, seseorang juga tidak hanya melihat apa yang ada di laman miliknya. Namun juga, dapat atau dipaksa melihat apa yang tampak di linimasa orang lain. Artinya, terdapat saling ekspansi ruang dalam proses tersebut.

Sehubungan dengan munculnya era media baru, yang salah satu turunannya adalah semarak media sosial Facebook, terbukti pula fenomena prosumen. Masyarakat tidak hanya menjadi konsumen dari gagasan yang dilontarkan media, sebagaimana yang terjadi di era media konvensional di masa lampau. Melainkan pula, dapat menjadi produsen atas gagasan-gagasan yang kemudian dapat dengan bebas disebarluaskan. (*)

Penulis: Rio F. Rachman

Editor: Nuri Hermawan

Berikut adalah link terkait informasi di atas:

https://www.mcser.org/journal/index.php/mjss/article/view/4314/4218

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).