Tim Dokter UNAIR-dr Soetomo Temukan Metode Baru Kurangi Kematian Ibu Akibat Pendarahan Hebat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
dr Rozi saat menyampaikan gagasan soal Plasenta Akreta di Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists Annual Scientific Meeting (RANZCOG 2018 ASM) di Adelaide Convention Centre. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Angka kematian ibu melahirkan akibat Plasenta Akreta terus bertambah. Adalah kondisi di mana pembuluh darah plasenta (ari-ari) atau bagian-bagian lain dari plasenta tumbuh terlalu dalam pada dinding rahim dan bahkan sampai keluar rahim.

Data yang dihimpun RSUD dr Soetomo menyebutkan, tingginya angka Plasenta Akreta selalu mengalami kenaikan tiap tahun. Ada 7 kejadian pada tahun 2015, 27 kejadian pada tahun 2016, 60 kejadian pada tahun 2017, dan 71 kejadian pada tahun 2018. Dalam kasusnya, Plasenta Akreta menjadi salah satu masalah kehamilan serius karena bisa membahayakan nyawa penderita.

Dosen sekaligus dokter FK UNAIR-Dr Soetomo dr. Rozi Aditya Aryananda, SpOG., menjadi dokter dengan jumlah angka tertinggi yang melakukan operasi dengan kejadian Plasenta Akreta. Angka yang tinggi itu bukan hanya di lingkup Indonesia, bahkan di Asia. Yang menjadi permasalahan adalah, mengapa terjadi ledakan angka kejadian Plasenta Akreta, khususnya di wilayah Kota Surabaya?

Dokter Rozi sapaan karibnya, menyebut kasus ini mulanya sangat jarang terjadi. Tahun 2013 (hanya) terdapat satu kasus, dan kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Hingga kini, literatur khusus yang membahas soal Plasenta Akreta masih banyak kontroversi. Munculnya kejadian ini, katanya, mengubah konsep-konsep kodokteran yang selama ini diyakini oleh para dokter di bidang Obgyn.

Kejadian Plasenta Akreta membahayakan nyawa karena dalam kejadiannya dapat menghabiskan darah ibu hamil hingga berliter-liter. Normalnya, operasi kehamilan menghabiskan darah dalam jumlah 500cc hingga 1 liter. Dalam kasus Plasenta Akreta ini, ibu dapat kehilangan darah berkali lipat lebih banyak.

Operasi Plasenta Akreta yang pernah ditangani tim dokter Rozi (tim Plasenta Akreta) di RSUD dr Soetomo mencatat, seorang ibu hamil dapat menghabiskan darah hingga 21 liter. Padahal, tubuh manusia hanya menampung kurang lebih 6 liter darah.

Meminimalkan Pendarahan Ibu Hamil

Membaca situasi ini, dokter Rozi melihat dengan pendekatan yang berbeda. Sejak bertemu seorang profesor anatomi dari Argentina pada tahun 2016, ia terus mempelajari kasus dan belajar anatomi secara mendalam. Bersama profesor itu, Rozi lantas mencoba melakukan operasi dengan pendekatan yang berbeda. Hasilnya, cukup menjanjikan.

”Pendarahan yang biasanya menghabiskan berliter-liter darah itu, bisa kita tekan menjadi hanya 1 liter,” tegas dokter Rozi.

Dalam pendekatan baru itu, tim plasenta akreta melakukan operasi dengan mencari pembuluh darah terlebih dahulu satu persatu dan melakukan pengontrolan. Sehingga, plasenta yang akan diambil sudah dalam kondisi pembuluh darah yang semua terkontrol.

“Pada kasus ini (Plasenta Akreta, Red) konsep operasi yang sejak dulu biasa dilakukan bisa sangat berbahaya. Banyak pembuluh darah baru yang terbentuk akibat Plasenta Akreta dan sangat sulit diatasi apabila terjadi perdarahan. Anda bayangkan darah keluar seperti air keluar dari dalam selang,” paparnya memaparkan soal bahayanya Plasenta Akreta.

Kasus Plasenta Akreta, kata Rozi, menyebabkan kematian yang tinggi karena pendarahan yang tidak terkontrol. Ia dan tim mencoba melakukan pendekatan operasi untuk meminimalkan pendarahan.

Selain teknik operasi, Rozi dan tim juga mengembangkan teknik diagnostik terbaru yaitu mempredisksi sejauh mana plasenta akan keluar.

“Teknik diIagnostik ini bisa memprediksi sebuah operasi yang berbahaya,” terangnya.

Lantas, siapa saja yang berkemungkinan mengalami Plasenta Akreta?

Dari berbagai observasi yang dilakukan Rozi, didapatkan data bahwa Plasenta Akreta paling sering terjadi pada ibu yang sudah pernah mengalami operasi bersalin. Selama ini operasi persalinan bayi telah lama dilakukan sebagai metode mengeluarkan bayi dari rahim. Lantas, mengapa kejadian Plasenta Akreta baru terjadi beberapa waktu belakangan?

Ia dan tim kini sedang mencari tahu jawaban atas hal tersebut. Selama melakukan operasi Plasenta Akreta, biasanya ia berkolaborasi dengan banyak dokter spesialis. Dokter anak, bedah vaskular, urologi, ginekologi onkologi, patologi klinik, patologi anatomi, dokter anestesi dan dokter spesialis lainnya yang berkaitan dengan operasi persalinan.

Bukan tanpa sebab Rozi dinobatkan sebagai dokter yang paling banyak menangani kasus Plasenta Akreta. Tercatat, di Kota Surabaya ia sudah melakukan operasi tersebut hingga sekitar 200 kali. Karena metode yang ia kembangkan itulah, ia banyak diundang untuk menyampaikan gagasan di berbagai negara. Seperti di Hongkong (2017); Malaysia, Australia, Belanda (2018); dan Februari 2019 di Singapura.

“Kebanyakan dari mereka kaget karena di negara mereka kasusnya tidak sebanyak yang ada di Indonesia, khususnya Kota Surabaya,” paparnya.

Baginya, keberhasilan kerja dokter adalah karena keberhasilan kerja tim. Bukan kerja individu. Maka itu, ada motto yang selalu ditanamkan oleh para guru – guru Rozi di benak Rozi hingga saat ini, “There is no best doctor, but the best team”. (*)

Penulis: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).