Tingkatkan Kesehatan Bayi Kuning dengan Praktik Fototerapi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Nakita.grid.id

Di Indonesia beban penyakit akibat bayi kuning lebih tinggi daripada negara lain. Bayi kuning secara medis seringkali disebut bayi hiperbilirubinemia. Bayi yang disebut hiperbilirubinemia berat memiliki kadar bilirubin >20 mg/dl. Bayi tersebut tentu tidak dapat diterapi dengan sinar matahari atau lampu fototerapi standar. Fototerapi merupakan satu-satunya metode dalam menurunkan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi. Saat ini fototerapi menjadi identik dengan farmakoterapi. Dikarenakan adanya dosis dalam fototerapi yang disebut intensitas standard (10 mikrowatt/cm2/nm) dan intensif (>30 mikrowatt/cm2/nm) dalam menurunkan kadar bilirubin.

Penelitian ini telah dilakukan di berbagai negara maju maupun negara berkembang. Penelitian menunjukkan bahwa banyak terdapat praktek fototerapi sub optimal. Kondisi ini tentu berbahaya karena foto terapi yang berfungsi dalam menurunkan kadar bilirubin menjadi tidak efektif dalam mencegah kecacatan akibat hiperbilirubinemia . Selain itu fototerapi yang terlalu agresif dapat membahayakan bayi dan menyebabkan efek samping jangka pendek maupun jangka panjang.

Efektivitas fototerapi dipengaruhi oleh berbagai hal salah satunya ialah jarak antara fototerapi dengan bayi. Diasumsikan tingginya angka hiperbilirubinemia berat di Indonesia dikarenakan masih terdapat fototerapi substandar. Untuk itu para peneliti di Universitas Airlangga melakukan pengumpulan data pada 17 RS di pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Desember 2016 hingga Agustus 2017. Peneliti juga melakukan pengukuran jarak antara lampu dengan bayi serta evaluasi efek penggunaan gorden terhadap perubahan intensitas fototerapi. Pengukuran dilakukan pada lima titik yang merepresentasikan kepala, dada, perut, lutut dan kaki. Peneliti menggunakan sebuah alat yang didonasi dari Belanda yaitu Biliblanket meter II.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa hampir 50% dari rumah sakit di pulau Jawa memiliki intensitas lampu fototerapi di bawah ambang dosis terapi yang direkomendasikan. Sedangkan 30% rumah sakit yang memiliki lampu intensif fototerapi. Hal ini tentu sangat berbahaya karena rumah sakit tidak mengetahui kemampuan lampu fototerapi yang dimilikinya sebelum dilakukan pengukuran. Sehingga jika rumah sakit tersebut menerima bayi dengan hiperbilirubinemia berat maka akan membutuhkan fototerapi intensif. Sehingga rumah sakit akan gagal mencegah terjadinya komplikasi seperti cacat motorik dan ketulian permanen. Jarak antara lampu dengan bayi juga menjadi penentu intensitas lampu fototerapi. Praktik di Indonesia mengindikasikan adanya penggunaan jarak yang melebihi rekomendasi pabrikan. Hal ini dapat berakibat turunnya intensitas sesuai dengan standar yang direkomendasikan pabrik.

Praktik penggunaan gorden juga menjadi sorotan tim peneliti. American Academy of Pediatric menganjurkan untuk menggunakan reflekting material. Namun, beberapa rumah sakit masih saja ditemukan menggunakan gorden dengan warna gelap seperti hitam dan hijau tua. Setelah dilakukan pengukuran dengan intensitimeter tampak penurunan yang bermakna intensitas lampu yang ditutup oleh gorden berwarna gelap. Melalui artikel ini diharapkan dapat menjadi wacana bagi praktisi kesehatan dalam memberikan fototerapi sesuai dengan standar baku internasional. Sehingga angka kecacatan akibat hiperbilirubinemia berat dapat dicegah dengan fototerapi yang efektif.

Penulis : Mahendra Tri Arif Sampurna

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat dari tulisan di :

https://bmcpediatr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12887-019-1552-1

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).