Prof Lucia: Koksidiosis Memiliki Gejala Berupa Berak Darah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Peternakan merupakan ladang bisnis yang memerlukan ketelitian dan kesabaran dalam pengelolaannya. Mulai pengawasan terhadap seluruh aktivitas ternak, perawatan kandang, hingga upaya untuk memelihara lingkungan sekitar peternakan. Hal itu bertujuan menjaga kualitas hewan serta produk yang dihasilkan.

Begitu juga pada sektor peternakan unggas jenis ayam. Lingkungan yang tidak kondusif dapat menyebabkan performa ayam menurun dan mudah terjangkit penyakit. Salah satunya adalah koksidiosis (coccidiosis). Koksidiosis ialah suatu penyakit parasiter pada sistem pencernaan unggas akibat infeksi protozoa genus Eimeria dari famili Eimeriidae.

Eimeria dan Faktor yang Memicu Perkembangan Koksidiosis

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga, Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti drh., M.P., menjelaskan bahwa penyakit koksidiosis memiliki gejala berupa berak darah. Umumnya, dapat menyerang semua jenis unggas dan mamalia. Namun menjadi berbahaya jika menyerang ayam.

Koksidiosis bisa ditemukan di seluruh dunia. Terutama di kawasan tropis yang menjadi habitat dari beragam jenis parasit seperti Indonesia.

”Koksidiosis disebabkan oleh parasit eimeria dan parasit isospora. Tetapi, kalau pada ayam hanya eimeria. Ada sembilan jenis eimeria, yakni eimeria tenella, necatrix, brunetti, maxima, acervulina, mitis, mivati, praecox serta hagani. Dan, yang paling mematikan adalah eimeria tenella,” ujar guru besar bidang ilmu penyakit parasiter itu.

Prof. Lucia menyebutkan bila perkembangan penyakit koksidiosis dapat ditenggarai oleh berbagai macam faktor. Seperti halnya kondisi lingkungan, baik di dalam ataupun di luar kandang, faktor keturunan, pemberian pakan maupun vaksin yang tidak sesuai standar, adanya bakteri pathogen dalam usus, spesies serta virulensi eimeiia, dan banyak lainnya.

”Kita ambil contoh dari segi kondisi kandang. Jika ventilasinya buruk, maka akan mempengaruhi kelembapan dan memicu terjadinya sporulasi. Sanitasi yang kurang sesuai berdampak pada pencemaran,” sebutnya.

”Selain itu, kandang yang tidak luas, juga membuat ayam berdesakan. Ini bisa mengakibatkan ayam stress, lalu asupan makannya berkurang, dan sistem imunnya menurun. Semua faktor memiliki benang merah,” imbuhnya.

PROF. Dr. Lucia Tri Suwanti drh., M.P. (paling tengah) bersama para peserta dalam sesi seminar Indo Livestock 2019 Expo and Forum mengenai Solusi Tuntas Coccidiosis Pada Unggas pekan lalu (4/7/19). (Foto: Istimewa)
PROF. Dr. Lucia Tri Suwanti drh., M.P. (paling tengah) bersama para peserta dalam sesi seminar Indo Livestock 2019 Expo and Forum mengenai Solusi Tuntas Coccidiosis Pada Unggas pekan lalu (4/7/19). (Foto: Istimewa)

Siklus Hidup Eimeria pada Ayam dan Gejala Klinis Koksidiosis

Koksidiosis bermula dari perkembangan eimeria yang hidup dan menyerang lesi usus. Apabila usus rusak, maka penyerapan makanan akan terganggu (malabsorbsi). Sehingga sari-sari makanan akan keluar bersama feses dalam bentuk cair dan disertai darah. Bila sudah seperti itu, berat badan ayam akan terus menyusut meski peternak memberinya pakan sebanyak apapun. Hal itu kemudian berdampak pada penurunan produksi telur.

”Pada ayam pedaging akan terjadi pengurangan berat badan. Sementara pada ayam petelur, selain mengalami pengurangan berat badan juga berdampak pada produksi telur karena sari makanan mendorong pembentukan telur. Biasanya ayam akan terlihat lesu, sayapnya lunglai, beraknya disertai darah segar yang cukup parah. Jika sudah begitu, ada kemungkinan untuk tidak bisa diselamatkan,” terang peraih predikat Satya Lencana itu.

Eimeria dapat tumbuh di beberapa bagian dari usus, mulai usus buntu, usus halus bagian tengah, hingga belakang sampai rectum. Siklus hidup eimeria berawal dari ookista yang keluar bersama feses dan belum mengalami sporulasi.

Ketika ayam menelan ookista yang telah berspora, ookista akan pecah dan menghasilkan sporokista. Di dalam sporokista, terdapat dua sporozoid. Kemudian, sporozoid akan bergerak menuju usus.

Ketika berada di usus, sporozoid akan menginfeksi epitel dan berkembang menjadi sizon. Jika sudah mencapai ukuran tertentu, sizon akan berubah menjadi merozoid. Perkembangan tersebut terus berlangsung dalam bentuk gamet jantan serta gamet betina. Kelak, gamet jantan akan senantiasa melakukan pembuahan.

Hasil pembuahan tersebut akan muncul dan memiliki flagella yang mempunyai insting untuk mencari epitel usus bermakrogamet. Di sanalah tempat berlangsungnya pembentukan zigot (ookista).

”Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam mendiagnosis penyakit koksidiosis. Pertama, dengan melihat gejala klinisnya terlebih dahulu. Kedua, mencermati kondisi feses. Ketiga, menghitung tingkat keparahan berdasar jumlah ookista pertinja. Keempat, adalah scoring. Kelima, mengamati usus. Keenam, melakukan diagnosis melalui metode Polymerase Change Reaction (PCR) atau pengamatan DNA dari parasit,” jelasnya.

Pencegahan dan Penanganan Koksidiosis pada Unggas

Prof. Lucia menuturkan bahwa tidak semua unggas atau ayam yang terkena koksidiosis akan mati. Itu bergantung seberapa besar pemaparan dari parasit dan infeksi yang ditimbulkan.

Sebab, kemunculannya memang sukar untuk diprediksi. Dalam standar FKH UNAIR, stadium infektifnya berkisar antara 5000-10.000 ookista. Biasanya, kematian terjadi pada hari keempat, kelima sampai hari ketujuh akibat adanya pendarahan.

”Perlu diketahui juga bila koksidiosis ini sifatnya host-spesific atau menular kepada sesama hewan dengan jenis yang sama. Selain itu, sembilan jenis parasit eimiria yang menginfeksi unggas juga memiliki virulensi yang berbeda-beda sehingga belum tentu bisa melindungi dari spesies parasit lain. Misalnya, ketika ayam sudah pernah terinfeksi eimiria praecox, belum tentu ayam tersebut akan kebal terhadap eimiria jenis lain,” ujarnya.

Karena itu, perlindungan terhadap unggas jenis ayam harus dilakukan secara maksimal. Baik preventif maupun penanganan pasca tertular. Tindakan pencegahan dapat berbentuk manajemen perkandangan yang baik, serta peningkatan sistem imun melalui pemberian koksidiostat dan vaksin secara tepat demi mencegah terjadinya resistensi obat. Bahkan, telah dikembangkan obat-obatan dari pabrik ataupun herbal.

”Standar pengonsumsian vaksin anti koksidiosis sebanyak 125 ppm. Artinya dalam satu kilo pakan, berisi 125 gram. Tapi, itu tergantung jenisnya. Kalau bahan alam biasanya dibuat berupa serbuk yang diambil ekstraknya. Koksidiosis harus ditangani dengan serius jika tidak bisa menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak,” tandasnya. (*)

“Pemberian anti koksidiosis sangat tergantung dari jenis obatnya. Apabila yang tertera dipetunjuk penggunaan sebanyak 125 ppm, artinya dalam satu kilo pakan, berisi 125 gram. Kalau bahan alam biasanya dibuat berupa serbuk yang diambil ekstraknya. Koksidiosis harus ditangani dengan serius, jika tidak bisa menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak,” tandas Prof. Lucia. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).