Cyberspace Media Sosial dan Konsumsi Kolektif Masyarakat Urban

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilsutrasi oleh media siber
Ilsutrasi oleh media siber

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, Munib (bukan nama sebenarnya) masih saja tergeletak santai, tidur di kamar kontrakan sembari menatap lekat gawainya yang sama sekali tidak ia lepaskan sejak bangun tidur tadi. Barang tentu, ia belum makan apalagi mandi pagi yang katanya justru menyehatkan. Ia masih saja tenggelam dalam dunia virtual instagram, whatsapp, dan sesekali membuka Youtube dan melihat apa saja yang ditemuinya di gawai tersebut. Tentu saja kejadian ini tidak hanya terjadi pada seorang Munib, melainkan menjadi fenomena yang sering kita temui di sudut-sudut warung kopi hingga ruang akademis yang seringkali abai terhadap kehidupan nyata.

Dewasa ini, dunia Cyberspace menjadi Common reality, bentuk baru perkembangan hiperrealitas.  Perkembangannya pun tidak dapat dilepaskan dari pondasi-pondasi nilai filosofis, etis, ideologis. Berbagai bentuk imajinasi dan  visi yang semula hanya merupakan angan-angan, kini terbungkus pada kain harapan bernama “realitas”.

Masalah pun muncul, ketika nilai-nilai yang bersifat partikular ditawarkan di dalam dunia Cyberspace  mengakibatkan nilai-nilai saling berkontradiksi satu sama lain dengan masyarakat pengguna. Maka, timbullah sebuah distorsi nilai ideologi, etika dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan pandangan dunia masyarakat pengguna.

Lalu, fenomena ini menanggalkan pertanyaan paling jujur, “untuk siapa  sifat komunikatif cyberspacedalam mendulang banyak kekuatan massa?” untuk menjawab hal tersebut perlulah kiranya taksonomi skema maupun struktur berbntuk klasifikasi terhadap fenomena Cyberspace media sosial.

Mengacu pada istilah definitif Strinati (2009)terhadap peristilahan budaya massa sebagai platform yang menaungi media sosial. Jika budaya massa merupakan budaya popular yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen, maka media sosial merupakan platform yang sengaja dibuat dalam menunjang kegiatan tersebut, terutama dalam melakukan bentuk komunikasi.Bahkan, Wattimena melalui tulisannya dalam “Menggagas CyberSpace Sebagai Ruang Publik Virtual Yang Emansipatif.” melihat sebagai bentuk baru imperialisme barat dalam bentuk neo liberalisme serta sebagai kekuatan baru masyarakat sipil yang luar biasa.

Redana dalam Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa menyebutkan bahwa Cyberspace merupakan realitas gadungan, dunia fiksi yang tidak jelas batasnya, dunia bebas tanpa sekat yang menjadikan masyarakat yang belum sepenuhnya, lebur di rekstrukturisasi oleh media sosial. Lalu menyebutnya sebagai zaman edan.

Cyberspace sebagai Ruang Sosial

Dalam Barker (2000), konsep Cyberspace  melekat pada penggunaan istilah tempat ‘yang tidak ada dimanapun’ dimana pesan-pesan elektronik berlalu lalang,  transfer uang berlangsung, pesan-pesan digital bergerak hingga situs-situs World Wide Web diakses. Suatu tempat tanpa ruang, secara konseptual adalah dimana hubungan manusia, kata-kata, data, status kekayaan, status kekuasaan dimunculkan oleh orang-orang yang menggunakan teknologi komunikasi dengan perantara gawai yang tehubung dengan internet.

Each day, more people access to the Internet. According to Internet Usage Statistics, the number of users has grown 444, 8 per cent since the year 2000. Most of the internet users are from Asia (42, per cent), followed by Europe (24, 2 per cent) and North America (13, 54 per cent). The rest of users are distributed between Latin America/Caribbean (10, 4 per cent), Africa (5, 6 per cent) and Oceania/Australia (1 per cent). At the time of the writing of this entry, the penetration of Internet in the world is of 28, 7 per cent. Therefore, in a world population of 6,845,609,960 persons, there are 1,966,514,816 internet users” ujar Gómez-Diago dalam bukunya Cyberspace and Cyberculture

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengguna cyberspace semakin membludak. Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 responden dari usia 16 hingga 36 tahun menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari, melebihi aktivitas untuk mengakses media tradisional. Lalu bagaimana dengan keadaan ruang Privat Individu ?

Dengan tingkat intensitas yang sedemikian rupa, terjadilah proses peleburan karakter. Mengingat pada Karakteristik kerja komputer dalam Web 1.0 adalah pengenalan individu terhadap individu lain (human cognition) yang berada dalam sebuah sistem jaringan, sedangkan Web 2.0 adalah bagaimana individu berkomunikasi (human communication) dalam jaringan antarindividu. Terakhir, dalam Web 3.0 karakteristik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana manusia (users) bekerja sama(human cooperation). Maka, melalui tahapan tersebut. individu tidak lagi dalam ruang yang benar-benar indvidu.

Dalam himpunan data dari APJII (2015) menunjukkan bahwa sepanjang periode 2013-2014 terdapat 71,19 juta pengguna internet di Indonesia dengan mayoritas pengguna internet adalah kelas menengah urban sebesar 83,4 persen berbanding dengan pertumbuhan 6 persen di pedesaan. Adapun untuk angka penetrasi Internet di Indonesia juga mengalami kenaikan signifikan yang semula hanya 28 persen pada tahun 2013, kini tahun 2014 silam mencapai 34 persen.

Profil kelas menengah sebagai netizen aktif dalam pengguna internet di Indonesia sebagian besar didominasi kalangan pekerja (55 persen), mahasiswa (18 persen), dan juga ibu rumah tangga (16 persen) (APJII, 2015). Pulau Jawa – Bali sendiri menenmpatkan sebagai populasi internet terbesar sebesar 52 persen diikuti Sumatera sebesar 18,6 persen, sisanya 13,4 persen terkonsentrasi di Indonesia Timur (APJII 2015). Adapun aktivitas penggunaan internet bagi kelas menengah Indonesia didominasi kebutuhan leisure and pleasure seperti halnya sosialisasi (71 persen), informasi (65,3 persen), mengikuti perkembangan zaman 51,2 persen), dan bersenang-senang (32,6 persen) (APJII, 2015).

Data tersebut menunjukkansekilas sebuah fenomena yangmenarik, dalam fenomena tersebut menunjukkan pola perubahan ruang privat menuju ruang publik akibat tendensitas yang terjadi didalamnya, makacyberspace menjadi ruang sosial yang juga terpapar pengaruh postmodernis. Mengapa hal itu penting ?

Posmodernis sejatinya sangat skeptis terhadap metanarasi, sebab metanarasi tercerai berai, validitas dan legitimisinya tumbang, sehingga semakin sukar bagi kita untuk menyusun dan menginterpretasi kehidupan dalam tuntunan metanarasi. Begitu pula dengan keberadaan Cyberspace yang sejatinya juga telah mengikis identitas kolektif (publik) dan identitas personal (privat).

Adanya peleburan identitas tersebut pula yang menciptakan gagasan tersendiri sebagai sebuah konsumsi kolektif akibat penjenuhan media. Sehingga orang-orang mulai berbondong-bondong memberikan narasi atas apa yang dilakukan dalam kehidupannya

Konsumsi Kolektif

Melalui hal tersebut, Praktik hegemoni berlaku yang berlaku di mediasosial memungkinkan dibuatnya konteninteraktif, melakukan pengabungan dankolaborasi, dan pertukaran informasi antarpara pengguna sehingga terjadilan proses transfer penerimaan ideologi kelompok dominan terhadap kehadiran ideologi lain dan berlangsung dalam suatu proses yang damai.

Dalam prosesnya yang berjalan damai, praktik hegemoni mempersembahkan metastruktur sosial dalam membentuk perilaku konsumsi kolektif. Sehingga Fuchs dalam bukunya yang berjudul Social Media a Critival Introduction, menerangkan bahwa struktur sosialtidak dapat dilepaskan dari kekuatan ataukekuasaan (hegemoni) yaitu kekuatanekonomi, politik dan budaya.

 

Berita Terkait

Muhammad Fuad

Muhammad Fuad

Penulis adalah mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, angkatan 2017. Penggiat literasi, tinggal di: muhammad.fuad.izzatulfikri-2017@fib.unair.ac.id