Membingkai Pancasila Sebagai Fundamental Bangsa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
pancasila
PANCASILA sebagai dasar negara dan fundamental bangsa Indonesia. (Foto: Ist)

MERUNUT pada sejarah panjang perjalanan bangsa ini, maka tidak berlebihan apabila tanggal 20 Mei dijadikan sebagai awal dari masa pergerakan. Disanalah bibit-bibit ideologi pergerakan mulai tumbuh. Momentum Hari Kebangkitan Nasional yang telah disepakati ketika berdirinya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 menjadi awal munculnya rasa nasionalisme di dada setiap pemuda. Sebuah tanggungjawab yang muncul dari darah juang pemuda untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Namun, bukan berarti selama 109 tahun sejak momentum penting tersebut tidak ada satu pun hambatan yang datang. Pasang surut tercatat mewarnai perjalanan tersebut yang memanifes dalam beragam bentuk upaya meretakkan ideologi melalui gerakan separatisme.

Seperti pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sampai perubahan bentuk negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, beragam upaya meretakkan batu sendi nasionalisme tersebut tidak pernah berhasil menggoyahkan keu tuhan NKRI, sampai sekarang!

Urgensi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini nampak jelas di tengah hiruk-pikuk gerakan politik yang membawa isu-isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Begitupun dengan gerakan politik internasional yang menginginkan Indonesia menjadi bagian dari Daulah Khilafah. Menjadi sebuah hal yang penting untuk mengetengahkan kembali nasionalisme dan ideologi Pancasila sebagai reminder bagi seluruh elemen masyarakat, bahwa ada masalah mendasar yang tengah dihadapi bangsa.

Bingkai Nasionalisme

Nasionalisme telah menjadi salah satu tali pengikat dalam menjaga keutuhan NKRI. Namun, menghadirkan nasionalisme –jika dilakukan tanpa memperbarui pemaknaan dan penerjemahan ideologi dengan realitas kekinian– bisa akan menambah persoalan. Benar kiranya kata Ichwan Arifin yang menyatakan bahwa hal-hal yang merekatkan sebagai ikatan sebuah bangsa merupakan sesuatu yang bersifat imajiner.

Karena itu Benedict Anderson dalam Imagined Communities mendefinisikan bangsa sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan. Ditambahkan, bahwa bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang, karena mustahil bagi individu anggotanya benar-benar pernah berinteraksi. Merujuk pada konsepsi Anderson itu,  nasionalisme seakan berpijak pada fondasi yang rapuh dan mudah rusak manakala imajinasi kolektif tersebut hilang atau berubah.

Bagi generasi Y yang telah menjadi pelopor perubahan dan masa depan bangsa, mungkin nasionalisme dirasakan sangat abstrak. Kehadirannya hanya dapat dilihat melalui sebuah momentum seremonial seperti upacara bendera, pertandingan olahraga antar-bangsa misalnya Olimpiade, Piala Dunia, dan semacamnya. Apabila ditarik ke ranah politik, menguatnya pragmatisme, politik transaksional, serta sistem dan budaya politik yang korup, semakin menguatkan skeptisme masyarakat terhadap makna nasionalisme.

Ahmad Sahal dalam Terjerat Rumah Kaca mengemukakan bahwa nasionalisme Indonesia juga hadir tidak dalam suatu ruang kosong. Kolonialisme juga berperan besar dalam membentuk nasionalisme di negara jajahan. Sahal bahkan menegaskan bahwa nasionalisme itu sendiri tidak luput dari persoalan dan mengandung ambivalensi sejak kelahirannya. Misalnya dalam ungkapan-ungkapan yang menjadi kata kunci nasionalisme, seperti perasaan senasib sependeritaan sebagai Bumi Putera.

Makna ungkapan-ungkapan tersebut menjadi sangat relatif karena dalam struktur sosial masyarakat terdapat kelas-kelas sosial. Seperti Bumi Putera yang terbagi ke dalam kelas buruh maupun kelas priyayi, seperti halnya imperialism Barat. Realitas senasib sependeritaan tentu berbeda diantara keduanya, meskipun sama-sama dalam genggaman kuasa kolonialisme.

Namun, terlepas dari kritik tersebut, nasionalisme Indonesia hadir pada saat bangsa ini memerlukan suatu ideologi yang mampu menyatukan segenap elemen bangsa, menjadi satu kekuatan politik perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme. Inilah momen dimana elemen nasionalisme membingkai ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara. Lewat ideologi itulah berhasil membawa bangsa Indonesia menjadi satu negara merdeka melalui Proklamasi 17 Agustus 1945.

Pergerakan Kebangsaan dalam Pancasila

Apabila hanya menyandarkan pada kenangan kolektif masa lalu untuk merawat nasionalisme, tentu tidaklah cukup. Apalagi, problem kebangsaan saat ini dan di masa depan sangat kompleks. Karena menurut Pengalaman Enam Tahun Pembasisan Pancasila mengemukakan peta masalah bangsa.

Hal itu meliputi sisa-sisa karut-marut kondisi sosial-ekonomi-politik sebagai imbas kegagalan pembangunan di masa lalu masih dirasakan pada masa sekarang. Pembangunan yang dipisahkan dari tujuan mewujudkan keadilan sosial telah melahirkan anyam-anyaman ketimpangan. Antara pusat dan daerah.

Selain itu juga mencakup masalah gelombang globalisasi. Percepatan proses globalisasi yang didorong oleh universal liberalisasi perdagangan dan perubahan teknologi secara terus-menerus telah menurunkan biaya produksi, transportasi, dan komunikasi. Fenomena ini semakin mengintegrasikan ekonomi bangsa-bangsa ke dalam pelukan kapitalisme global.

Masalah lain yang timbul adalah demokratisasi dan oligarki. Partai politik sebagai pilar demokrasi tak luput dari penyakit oligarkis yang akut. Pada akhirnya, pemimpin politik yang lahir dari proses politik itu cenderung mendekat atau menjadi bagian dari oligarki.

Sehingga Pancasila sebagai ideologi fundamental bangsa ini harus dibingkai melalui rasa nasionalisme. Upaya tersebut diharapkan akan merangkai persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan Indonesia. Hal itu sekaligus sebagai alternatif solusi dalam mengatasi peta masalah bangsa yang terpetakan dalam pembasisan Pancasila. (*)

Penulis adalah mahasiswa S-1 Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, angkatan 2016.

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok

Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok

Penulis adalah mahasiswa S-1 Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga. Tinggal di: wahyusyafiul@gmail.com