Jangan Tersandera Part II

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi
Ilustrasi nooga.com

UNAIR NEWS – Di sebuah mimbar, seorang Kyai ditanya seorang jamaahnya. Jamaah yang bertanya ini adalah seorang warga dari desa Selo. Ia sendari ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Halus bertutur kata, warga itu menyampaikan pertanyaannya dengan tawadu’.

“Kyai, apakah akan terjadi sesuatu dengan desa kami setelah petir itu memecah kepercayaan setempat, apa itu pertanda buruk ?”

Karena yang bertanya adalah perempuan, maka Kyai ini memanggilnya dengan Yu.

“Yu, sampeyan kan sudah ngaji lama disini. Semuakan dari Gusti Allah. Pasrahkan saja sama yang mengatur.”

Dengan mengangguk, warga ini masih belum merasa puas dengan jawaban itu. Tapi ia sungkan untuk mengutarakan pertengkaran batin yang tak bisa terobati dengan jawaban itu.

***

Berbeda dengan spektrum pendekatan Pak Kyai. Sebuah jurnal ilmiah mencoba menjelaskan fenomena petir. Mas Mus yang sangat anti dengan hal-hal yang berbau mistik mencoba menjelaskan semampunya, atas isi sebuah jurnal yang telah ia baca itu.

Nongkrong, di warung kopi, Mas Muspun merangsek pada obrolan. Ia dengan perlente membedah isu petir ngalor ngidul.

“Pembusukan dari bahan organik, asap pembakaran pabrik, yang terionisasi dan mengandung metana, kalau naik ke atmosfer. Ketika gas teroinisasi itu mengumpul banyak, maka akan timbul perbedaan potensial yang tinggi. Di sinilah bisa terjadi lompatan-lompatan listrik.” Tutur Mas Mus meyakinkan.

“Penjelasanmu itu terlalu, ndakik-ndakik nggak bisa diterima. Ini bukan soal peristiwa petirnya. Tapi soal kog baru sekarang” jawab seorang warga.

“Mas, apa ini karena pabrik gula, ya”

“Iya. Betul. Ada industri dan polusi.”

Desa itu memang dalam tahun-tahun terakhir dipenuhi oleh pabrik gula dengan pengolahannya yang menghasilkan polusi udara.

“Iya, industri dan polusi ada, tapi Mbah Mat meninggal mendadak selang beberapa hari saja setelah petir itu merusak sebuah pohon di dekat tempat keramat yang dijaganya. Jangan meremehkan lho.”

Mungkin dalam hati, Mas Mus tidak akan berselera untuk menjawab kekolotan jawaban semacam itu.

“Kepercayaan macam apa yang justru menteror diri sendiri” gerutu Mas Mus dalam hati.

Bersambung…

Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)

Berita Terkait

Sukartono

Sukartono

Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Angkatan 2012