Sepotong Setia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Lakonhidup.com
Ilustrasi Lakonhidup.com

Kursi yang kududuki terasa berguncang. Lalu kurasakan sepetak gambar di jendela mulai berganti seperti layar televisi. Pandanganku menerawang ke luar. Hanya punggung rumah yang saling berhimpitan yang akan kulihat hingga stasiun Sepanjang.

“Bapak sakit.”

Pesan dari Ibu hanya dua kata, tetapi lebih dari cukup untuk memanggilku pulang. Bapak memang mengidap diabetes. Penyakit turunan dari Eyang itu akan kambuh ketika Bapak terlalu banyak berpikir.

Sudah tiga bulan lamanya kami tak bertatap muka. Kesibukan kampus selalu kujadikan senjata.

“Terserah kamu saja. Semoga sehat dan sukses selalu.” Ucap Ibu ketika aku menolak pulang entah kali keberapa.

Kalimat itu awalnya kupahami sebagai pengertian dari Ibu.

“Aku pulang.” Kalimat itu kukirimkan sebagai pesan balasan.

Klakson masinis bersiul panjang. Kabar bahwa kereta akan berhenti di stasiun selanjutnya: Wonokromo.

Ketika ia benar-benar berhenti, penumpang yang jumlahnya puluhan merangsek masuk tak sabaran. Berimpitan, dan saling sikut mencari nomor kursi yang telah ditentukan.

***

Wajah tua Bapak terbayang. Dan segala ingatan tentangnya hadir bagai kolase yang ditampilkan acak.

Sekarang, misi Bapak dan misiku tak lagi sama. Segalanya mulai berubah ketika aku masuk kuliah.

Organisasi eksekutif kampus mengajakku membaur dengan banyak orang, pun menyublim di berbagai aksi sosial.

Organisasi yang justru merusak, kata Bapak.

“Kamu berubah, Nduk! Jadi liar dan urakan.”

Kritis dan frontal yang disebut Bapak sebagai keliaran. Berani dan terbuka yang disalah artikan sebagai urakan.

“Bapak ndak suka?” Balasku.

Semua bermula dari keinginanku ikut serta demo kenaikan BBM dua tahun lalu. Aku yang saat itu berstatus mahasiswa baru meminta izin Bapak-Ibu.

“Mau jadi apa kamu, Nduk berani ikut-ikut demo?”

Akupun mengulas jawaban panjang yang sudah tentu tidak Bapak dengar.

“Tak usahlah kau ikut-ikut demo. Tugasmu hanya belajar biar jadi akuntan yang benar!”

Tentangan Bapak tidak kudengar. Selain solidaritas dengan teman-teman angkatan, akupun sudah terikat janji dengan Mas Damar.

“Kembalikan harga BBM! Jangan sengsarakan rakyat yang kadung melarat!”

Tak kuhiraukan peluh membasahi tubuh yang terpanggang di bawah terik matahari. Meminta Pertamina mengkaji ulang kenaikan harga BBM.

“Berlindung, Ranai!” Mas Damar menarikku dalam pelukannya ketika massa di belakang kami merangsek maju.

Setelah menutup Jalan Jagir, kini sebagian mereka membakar ban bekas lalu merusak pagar pembatas berkawat.

“Kau harus siap, apapun yang akan terjadi nanti.” Bisik Mas Damar.

“Apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu ada untukmu…”

Aku memalingkan muka.

Peluh membasahi pelipis. Panas yang kurasakan jelas tak sebanding dengan yang sekarang dirasakan Mas Damar.

Hari ini ia bersama BEM SI menggelar aksi demonstrasi dua tahun kepemimpinan presiden di depan gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di barisan paling depan ia berdiri membawa spanduk bertuliskan ‘tagih janji 2 tahun Jokowi-JK untuk negeri’.

Harusnya aku juga di sana. Ikut serta membawa lima tuntutan reformasi mahasiswa[1].

Dan unjuk rasalah langkah tepat penyuara kepentingan rakyat.

“Rakyat yang mana?” Tanya Bapak pekan lalu saat aku pamit izin demo lagi.

Rakyat serupa nenek renta yang duduk di atas rinjing bersandar dinding toilet di ujung gerbong. Memangku sebuah tas plastik beranyam yang terlihat kosong.

“Wong cilik dong, Pak!”

Bapak lalu tersenyum mencibir.

“Reformasi sekarang ini kan ya karena mahasiswa, Pak.” Selorohku membela diri.

Aku ingin mengingatkan Bapak akan peristiwa besar delapan belas tahun lalu.

Peluit masinis melenguh panjang. Papan bertuliskan Stasiun Kertosono terpampang besar-besar.

“Mari saya bantu”

Jarak pintu kereta cukup tinggi dari peron. Nenek yang tadi naik dari Stasiun Sepanjang mengulur senyum.

“Boleh.”

Aku kemudian memondong tas jinjingnya.

“Mbah kenapa tadi duduk di dekat toilet?” Tanyaku.

Semenjak kereta melewati stasiun Mojokerto, penumpang banyak yang turun. Menyisakan hampir seperempat kursi kosong. Tetapi kulihat ia tetap duduk bersandar dinding toilet di atas rinjing yang sekarang digendongnya.

“Ning, petugas loket tadi bilang Mbah ndak dapat tempat duduk karena belinya mepet. Mbah ndak berhak duduk di kursi.”

Senyum di wajahku memudar. Aku meremas kertas di genggaman. Membentuknya menjadi bulatan paling kecil lalu membuangnya sembarangan.

Sepotong pelajaran berharga dari seorang nenek renta akan kursi di kereta. Hanya sepotong, tetapi itu adalah hak penumpang. Bukan masalah besar atau sepele, namun kesetiannya akan prinsip luhur. Menjaga kejujuran pada selembar tiket miliknya. Pantang seseorang mengambil hak orang lain, kecuali berdasarkan kerelaan. Dan sang nenek memilih duduk di atas rinjingnya, bersandar pada dinding toilet yang bau.

Lidahku kelu. Wajahku kebas karena malu. Malu karena tiket yang kupunya, nomor tempat dudukpun tak tertera.

***

*Penulis adalah mahasiswi semester 6 prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi-

[1] Disingkat literasi mahasiswa. Tindak tegas mafia kasus kebakaran hutan dan lahan; tolak reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta; tolak tax amnesty yang tidak pro rakyat; tolak perpanjangan izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017 dan komitmen terhadap usaha hilirisasi minerba; dan cabut hokum kebiri, selesaikan akar permasalahan kejahatan seksual pada pempuan dan anak.

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi