UNAIR NEWS – Bukan hal baru lagi apabila para pelanggar etika atau hukum di Indonesia justru diangkat menjadi duta pada bidang yang dilanggar, alih-alih diberi sanksi hukuman. Kasus terbaru adalah Putu Arimbawa yang mengumpat para pemakai masker di salah satu Mall Surabaya namun kemudian didaulat menjadi duta protokol kesehatan. Serupa, kota Bekasi juga baru saja mengangkat duta masker bernama Nawir, yaitu orang yang sebelumnya mengusir salah satu jamaah di masjid dengan alasan bermasker.
Menanggapi hal itu, salah seorang dosen Administrasi Publik UNAIR, Dr. Falih Suaedi menyatakan bahwa citra seorang duta yang dijadikan sebagai role model atau panutan di Indonesia harus dilakukan re-orientasi. Menurutnya, duta adalah pemain sesungguhnya yang secara realita memiliki sesuatu untuk bisa menyentuh orang lain bukan dengan cara pencitraan seperti di sinetron. Oleh karena itu, dia menyebutkan harus ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan sebelum seseorang diangkat menjadi duta.
Kriteria pertama, dosen yang lahir di Bojonegoro itu menuturkan sosok duta harus memiliki pertumbuhan pribadi yang konsisten. Kedua, calon duta juga harus memiliki perhatian atau kepedulian tinggi terhadap bidang yang dia emban. Tidak hanya itu, seorang duta juga harus mampu memberikan nilai tambah terkait bidang yang dikampanyekan dan mampu mengimplementasikan value bidang tersebut secara konsisten dalam kehidupan.
“Kalau para pelanggar justru dijadikan duta saya melihatnya itu hal yang sia-sia dan efeknya nol. Karena duta harusnya memberikan panutan, namun publik sudah mengetahui bahwa sosok itu sendiri tidak mengimplementasikan value bidang yang diemban dengan baik dan konsisten,” jelas dosen yang biasa disapa Faliih itu.
Lebih lanjut, Dr Falih menjelaskan bahwa berdasarkan teori bandura disebutkan apabila seorang panutan harus memenuhi dua kriteria. Pertama, sosok tersebut harus mampu mengidentifikasi atau mendorong orang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang dia lakukan. Dalam kaitannya dengan mengidentifikasi, sosok duta harus bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain. Selanjutnya, kriteria kedua adalah sosok tersebut harus memberikan contoh dan dukungan.
“Jadi tidak bisa kita mengangkat duta dengan alasan sosok itu terkenal atau sedang viral. Sudah saatnya duta itu diambil dari kalangan tidak melangit, tapi membumi,” tekannya.
Terkait dengan sosok membumi yang disebutkan, Dr Falih menerangkan bahwa tidak masalah untuk mengambil sosok duta dari kalangan bawah. Dengan begitu, menurutnya sosok tersebut bisa mendekati dan menggerakkan massa secara natural.
“Ketika kita melihat bahwa ada orang lain dari kalangan bawah yang justru melakukan sesuatu, maka hati kita akan tersentuh dan ikut tergerak melakukan hal yang sama. Jadi yang terpenting dari sosok duta adalah benar-benar melakukannya secara konsisten dalam kehidupan nyata dan mampu menggerakkan banyak orang,” pungkasnya. (*)
Penulis: Nikmatus Sholikhah
Editor: Feri Fenoria