Radikalisasi Mahasiswa di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh ibtimes.id

Aksi terorisme di Indonesia tak kunjung mati. Meski berbagai upaya penangkapan pelaku terorisme telah dilakukan aparat kepolisian di berbagai daerah, tetapi sel-sel baru pelaku terorisme tetap saja bermunculan. Satu pelaku terorisme ditangkap, di saat yang sama kemungkinan muncul pelaku terorisme lain yang tak kalah radikal.

Dari segi intensitas, kasus bom bunuh diri di Indonesia sebetulnya masih tergolong jarang terjadi. Dibandingkan sejumlah negara lain seperti Pakistan, Afganistan, dan lain-lain, aksi bom bunuh diri yang terjadi di tanah air hanyalah satu-dua kasus per tahun. Itu pun dengan korban yang minimal. Berbeda dengan aksi bom bunuh diri di negara lain dengan menimbulkan daya ledak dan jumlah korban hingga belasan atau bahkan puluhan orang, di Indonesia kasus bom bunuh diri termasuk amatir.

Di Indonesia, dampak dan bahaya dari terjadinya kasus bom bunuh diri sebetulnya bukan pada efek ledakan dan berapa jumlah korban yang jatuh. Di Indonesia ancaman di balik terjadinya kasus bom bunuh diri ibaratnya adalah pada efek sosial yang ditimbulkan. Ibarat pupuk, kasus bom bunuh diri yang terjadi di satu daerah sering kemudian menjadi ilham bagi pelaku lain untuk melakukan hal yang sama. Bahaya dari aksi bom bunuh diri adalah pada perkembangan radikalisme yang terus tumbuh subur, baik di kalangan individu maupun kelompok. Sejumlah studi menyimpulkan, pengaruh keberanian pelaku bom bunuh diri, fanatisme, radikalisme sangat terasa mendorong meningkatnya konservatisme dan intoleransi keagamaan.

Walaupun tidak sampai memicu munculnya rentetan aksi bom bunuh diri yang beruntun. Tetapi, dampak yang ditimbulkan sesungguhnya tak kalah meresahkan. Aksi bom bunuh diri adalah semacam tontonan keberanian yang keliru, namun dalam batas-batas tertentu telah mendemonstrasikan bahwa mereka tak sepenuhnya mati. Sejumlah studi di Indonesia menemukan bahwa pengaruh paham radikalisme tidak hanya menyusup di masjid, para dosen, guru dan aparatur birokrasi pemerintah, tetapi juga menyusup di berbagai sekolah menengah dan kampus. Tindak kekerasan dan radikalisme adalah dua hal yang acapkali berkembang pararel. Meski sejumlah peneliti telah menyadari bahwa keterkaitan antara radikalisme dan terorisme tidak sedemikian straightforward seperti yang umumnya diduga. Seperti disebutkan Randy Borum (2011), sebagian orang yang terpapar paham radikal tidak selalu terlibat dalam aksi terorisme dan sebaliknya teroris juga tidak selalu bersifat ideologis dan/atau berpaham radikal dalam pengertian tradisional.

Menjadi “radikal” dengan cara mengembangkan atau mengadopsi keyakinan ekstrim yang menjustifikasi kekerasan hanyalah satu dari sekian jalan menuju keterlibatan dalam terorisme. Artinya, menjadi teroris sesungguhnya tidak selalu menempuh rute yang linier, tetapi di sana faktor yang mempengaruhi sangat kompleks –lebih kompleks dari sekadar hubungan kausal antara paham keagamaan radikal dan kekerasan ekstremisme. Banyak bukti memang menunjukkan, bahwa orang dengan paham radikal dan ideologi yang menjustifikasi kekerasan tidak dengan sendirinya melakukan atau terlibat dalam aksi terorisme. Survei yang bersifat global dilakukan oleh lembaga riset Pew Research dan Gallup menunjukkan bahwa 17% kaum Muslim bersimpati pada pandangan radikal, kendati sebagian besar mereka sama sekali tidak punya komitmen utk melakukan tindakan kekerasan.

Memberantas terorisme hingga sekar-akarnya jelas bukan hal yang mudah. Pengalaman di berbagai negara telah banyak mengajarkan bahwa memberantas radikalisme dan terorisme yang semata hanya mengandalkan pada pendekatan keamanan, ternyata seringkali justru kontra-produktif. Alih-alih aksi terorisme makin menghilang, ketika eksistensi kelompok radikal ini ditekan dan diregulasi melalui jalan yang kaku, ternyata justru memicu tumbuh suburnya pelaku lain yang tak kalah radikal.

Selama ini, upaya mencegah agar paham radikalisme tidak makin berkembang dan mata rantai pewarisan paham radikalisme dapat diputus telah pula dilakukan melalui cara-cara yang soft, itu semua tampaknya juga belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Pendekatan yang memanfaatkan mantan bomber untuk ikut terlibat dalam aksi deradikalisasi, tidak jarang juga melahirkan resistensi, yang ujung-ujungnya membuka peluang individu atau kelompok tertentu menjadi tetap radikal. Ke depan, di luar berbagai pendekatan yang berbasis ideologi, melakukan counter culture untuk melawan paham radikalisme melalui paham yang mendukung toleransi, ada baiknya jika dicoba melalui pendekatan yang sifatnya lebih personal dan berbasis gaya hidup.

Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk. (2018) tentang radikalisme di Indonesia menemukan bahwa proses mengalami deradikalisasi ternyata terkadang sederhana dan tak terduga. Seseorang yang tengah berproses menjadi radikal, bisa saja tiba-tiba meninggalkan jalurnya ketika ada alasan yang sifatnya personal, seperti lebih berat pada pacarnya, merasa terganggu karena budaya popular global yang disukainya dibilang haram, dan lain sebagainya. Untuk melengkapi berbagai pendekatan yang telah dilakukan, tidak ada salahnya jika dicoba dikembangkan pendekatan alternatif seperti yang direkomendasikan pada penelitian yang penulis dkk. lakukan.

Penulis: Bagong Suyanto, Mun’im Sirry dan Rahma Sugihartati
Artikel lengkap bisa diakses pada: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1057610X.2019.1654726

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).