Generasi Milenial dan Gangguan Mental

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh usatoday com

Berdasarkan survei World Health Organization (WHO), sebanyak 10-20% anak dan remaja di seluruh dunia mengalami gangguan secara psikis. Separuh penyakit kejiwaan ditemukan sejak usia semuda 14 tahun. 5-15% remaja berusia 12-18 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh diri, tersebar di negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Di negara kita sendiri, sangat sedikit penelitian yang fokus melakukan riset tentang jumlah remaja yang memiliki gangguan mental. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan mental masih merupakan sesuatu yang tabu dan tersembunyi di masyarakat kita. Padahal, hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dikesampingkan begitu saja.

Gangguan mental (mental disorder) adalah suatu kelainan yang berdampak pada perubahan cara berpikir, emosi, dan perilaku (American Psychiatric Association). Spektrum gangguan mental sangatlah luas. Ketidakseimbangan hormon, faktor genetik, serta lingkungan semuanya berpengaruh dalam membentuk kondisi psikis seseorang. Bahkan seringkali diagnosis psikolog dan pakar kesehatan mental pun menemui perselisihan. 

Gejala paling umum yang ditemukan adalah merasa sedih, cemas, dan gelisah dalam kurun waktu yang lama, mengisolasi diri, acuh terhadap orang lain, karir, hobi, dan pendidikan, dan besarnya penghakiman terhadap diri sendiri. Dalam kasus ekstrem, seorang remaja dapat dengan mudah terserang panik, melukai diri sendiri baik dengan benda tumpul maupun tajam, serta menunjukkan tendensi bunuh diri. Tidak hanya sampai situ saja. Diagnosis lain seperti PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), autisme, bipolar, BPD (Borderline Personality Disorder), dan lainnya juga memiliki gejala yang berbeda pula.

Fakta bahwa hal ini dialami oleh remaja tentulah sangat memprihatinkan. Banyak sekali dari masyarakat yang berpikir bahwa mereka yang tertekan secara batin hanyalah semata diliputi ketakutan irasional dan bisa diselesaikan dengan berpikir positif saja. Pemahaman tersebut sudah menjadi kultur di masyarakat kita. Gangguan mental selalu diasosiasikan dengan orang gila yang berteriak seenaknya di jalan, atau perempuan paruh baya yang berduka selama berbulan-bulan karena kepergian mendiang suaminya. Padahal, gangguan mental bisa menjadi lebih dekat daripada yang kita kira, seperti berpikir untuk mati saja daripada dihina secara fisik oleh teman-teman sebaya.

Mereka yang diberikan keadaan mental yang sehat terus menyangkal segala persoalan para remaja ini. Sebuah penolakan terselubung dan narasi tentang ‘menjadi positif setiap waktu’ yang banyak beredar adalah beberapa dari sekian alasan remaja tidak ingin membagi lukanya. Terkadang timbul pula kecemasan akan opini orang lain, menjadi bahan pembicaraan di kalangan teman-temannya, atau dianggap sebagai seseorang yang cari perhatian semata. Atas dasar inilah kebanyakan remaja memilih untuk menghadapi perasaan mereka sendiri yang berkecamuk tiada henti.

Ada satu alasan tersendiri mengapa isu ini penting untuk dibicarakan. Selama dekade terakhir, jumlah kematian akibat bunuh diri terutama pada remaja cenderung meningkat, lebih dari 30% bagi remaja laki-laki dan dua kali lipat bagi remaja perempuan (CDCP). Hingga saat ini, bunuh diri tetap menjadi penyebab kematian nomor dua di dunia untuk remaja dan dewasa muda (WHO, 2014). Hampir 800.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Semua angka ini seharusnya meneriakkan sesuatu bagi kita. Keputusan untuk mengakhiri nyawa sendiri tidak mungkin berawal dari pikiran yang sehat. Apabila kita masih menganggap bahwa kita adalah manusia dan membiarkan generasi muda berjatuhan ketika mereka baru menjejakkan kaki ke dunia yang sesungguhnya tanpa adanya bantuan serta dorongan kita, tentulah kini tiba saatnya mempertanyakan arti dari keberadaan kita sebagai manusia itu sendiri.

Tulisan ini tentulah tidak dapat mewakili keseluruhan suara remaja yang sedang berjuang melawan gangguan kejiwaan. Tetapi marilah mulai sekarang harus kita akui bahwa pada masa kini ekspektasi terhadap generasi muda menjadi sedemikian besar sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan informasi yang setiap waktu terus membombardir mereka, dan hal itu tentunya turut memberikan tekanan pada kejiwaan para remaja. Bukan tidak mungkin ketika para orang tua sedang asyik menonton televisi atau tertawa bersama, ada para remaja yang menangis dan melukai diri sendiri di kamar mereka. Ketika sebagian siswa bersemangat untuk berangkat sekolah, mungkin ada sebagian lainnya yang bahkan sulit untuk menemukan semangat melanjutkan hidup dan hanya terbaring lemah.

Meski merupakan sesuatu yang kompleks, tetapi masyarakat dapat perlahan menunjukkan empati mereka bagi penderita gangguan mental. Konselor dan para pembimbing yang kompeten di lembaga pendidikan menjadi salah satu gerbang pertama menuju pengetahuan tentang gangguan mental bagi remaja. Seminar dan sosialisasi tentang pentingnya kesehatan mental pun dapat dilakukan sesekali untuk memperkenalkan konsep ini. Selain itu, kita juga dapat membuat sebuah nomor telepon gawat darurat yang mudah diakses para pelajar apabila mereka berpikir untuk melukai diri sendiri maupun hal-hal tak diinginkan lainnya. Segala aspek kemasyarakatan turut berperan dalam menciptakan sistem pendukung (support system) bagi para penderita gangguan mental, apalagi remaja. Gangguan mental harus berhenti dianggap sebagai sesuatu yang aneh, hina, dan asing di telinga masyarakat kita. Semua penderita, khususnya para remaja yang sedang berjuang membutuhkan banyak dukungan yang kuat. Mereka tak ubahnya orang-orang yang sedang berusaha sembuh dari penyakit. Anggapan bahwa mereka orang yang ‘sehat’ hanya karena mereka tidak terlihat ‘sakit’ harus dihilangkan, karena meskipun demikian, bukan berarti bahwa gangguan kejiwaan itu tidak ada, tidak realistis, dan tidak valid. Dengan abai dan acuh terhadap mereka, kita hanya memperparah keadaan. Semua perasaan yang tercipta dalam pikiran mereka bukanlah sebuah pilihan, melainkan cobaan. Menemani dalam rutinitas terapi dan konsumsi obat-obatan, menunjukkan kasih sayang dan dukungan moral, serta menepis stigma yang berseliweran di masyarakat tentang penderita gangguan mental akan turut memberikan semangat, harapan serta masa depan bagi mereka.

Berita Terkait

Deanita Nurkhalisa

Deanita Nurkhalisa

Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga