Belajar Berbhineka dari Desa Balun Lamongan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Desa Balun
Potret tempat ibadah umat beragama yang saling berdekatan. (Foto: Avirista/Okezone)

Berbicara kearifan lokal di Kabupaten lamongan tentu tidak bisa lepas dari salah satu desa tua yang ada di Kabupaten ini yaitu desa Balun. Terletak di utara pusat Kabupaten Lamongan, desa ini menjadi desa wisata religi dengan memberi keunikan dari sisi masyarakat dan kearifan lokal penduduk setempat. Berdasarkan cerita dari tetuah adat setempat nama desa Balun berasal dari kata “Mbah Alun”.

Tokoh Mbah Alun sendiri merupakan Raja Blambangan yang lahir di Lumajang. Mbah Alun belajar mengaji dari Sunan Giri IV (Sunan Prapen), selesai belajar mengaji ia kembali ke tempatnya untuk mensyiarkan agama sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan. Selama pemerintahannya pada tahun 1633-1639 Blambangan mendapatkan serangan dari Belanda dan Mataram hingga hancur. Hingga saat itu Mbah Alun melarikan diri ke arah wilayah Lamongan untuk mencari perlindungan.

Beliau bersembunyi disekitar Candi Pari, sebelum akhirnya ia mensyiarkan Agama Islam di daerah ini hingga akhir hayatnya. Ia pun mendapatkan gelar “Sunan Tawang Alun” dan namanya diabadikan menjadi nama desa “Balun”. Selain itu juga ia mendapat sebutan dengan nama Sin Arih karena ia menyembunyikan identitas dirinya sebagai seorang raja

Setelah peristiwa G30S tepatnya pada tahun 1967 mulai masuk dan berkembang di desa ini agama Kristen. Brerawal dari kekosongan kekuasaan pada jabatan pamong-pamong yang terlibat dalam peristiwa ini maka ditunjuklah pejabat sementara, Prajurit tersebut bernama Pak Bathi. Pak Bathi sendiri merupakan penganut agama Kristen sehingga dari sinilah agama Kristen mulai berkembang. Seiring berjalannya waktu Pak Bathi menunjuk seorang pendeta untuk membaptis pemeluk baru, dengan sikap keterbukaan dan toleransi tinggi  yang ditujukan oleh masyarakat Balun serta metode dakwah tanpa kekerasan  membuat banyak orang yang memeluk Kristen.

Pada tahun yang sama agama Hindu masuk ke desa ini. Tokoh sesepuhnya adalah bapak Thardono Sasmito dari Desa Plosowahyu. Sebagai agama pendatang Hindu berkembang secara pelan-pelan dan mulai melakukan sembahyang dirumah tokoh-tokoh adat, sebelum akhirnya dengan semangat swadaya tinggi untuk membangun tempat peribadatan masing-masing.

Perbedaan religiusitas tidak membuat masyarakat Balun semena-mena dan berlaku deskriminatif terhadap yang lainnya, justru mereka saling menjaga satu sama lain. Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan budaya-budaya yang khas dan mempengaruhi interaksi multi agama yang terjadi. Interaksi sosial demikian melahirkan interpretasi pada simbol-simbol budaya yang beda dari daerah lain. Sebagai contoh ketika ada hajatan seperti kenduren pasti setiap lelaki dewasa yang hadir akan memakai kopyah begitu pula seorang prempuannya pasti memakai kerudung, jadi ditempat ini suatu simbolitas seperti ini tidak hanya milik umat muslim saja namun milik semuanya.

Lain lagi ketika setiap ada orang yang meninggal masyarakat desa selalu melakukan upacara adat selametan, yaitu semacam tahlilan yang dilakukan semua agama yang ditujukan untuk mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal. Kolaborasi doa menurut agama dan keyakinan masing-masing akan begitu terlihat sakral dan berbeda dari umumnya ketika melihat hal yang demikian dilakukan di desa ini.

Hal yang begitu sangat terasa kebhinekaan dari masyarakat ini adalah ketika salah satu dari agama ini melaksanakan hari raya maka umat dari agama lain akan mengamankan jalannya upacar keagamaan dan hari raya ini, seperti saat masyarakat dari umat kristiani maka pemuda dari muslim yang terdiri dar remaja masjid dan anak pondok akan ikut menjaga gereja bersama TNI dan Polri. Hal yang demikian begitu terasa bagi masyarakat Balun sendiri maupun masyarakat luar daerah sehingga rasa tentram dan saling memiliki seperti yang tertuang pada pancasila begitu terasa di tempat ini secara turun-temurun.

Untuk melihat kearifan lokal yang sedemikian rupa ini, masyarakat ataupun wisatawan bisa melihat pada h-1 sebelum hari raya nyepi. Sajian kebudayaan yang terbalut dalam upacar ogoh-ogoh dan pembakaran patung-patung angkara murka di alun-alun desa akan terasa begitu eksotis dan mewah sehingga tidak akan rugi jika melihatnya secara langsung belum lagi sambutan masyarakat yang begitu sopan untuk selalu memuliakan tamu dan wisatawan.

Berita Terkait

Sunarto Heri Kustanto

Sunarto Heri Kustanto

Mahasiswa Ilmu Sejarah Angkatan 2016