Indonesia Darurat Deforestasi Hutan oleh Korporasi Nakal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh greensers.Co

Berkedok investasi dan membuka peluang kesejahteraan masyarakat, kini korporasi asing malah banyak masuk ke Indonesia namun merusak lingkungan dengan melakukan deforestasi hutan. Seperti pada korporasi sawit dan kertas yang selalu mangkir, padahal jelas bahwa kebakaran hutan terjadi di konsesinya.

Menurut data laporan Greenpeace Indonesia, didapatkan total luas areal terbakar di Indonesia dalam kurun waktu 2015-2019 mencapai 4,4 juta hektar – seluas Provinsi Jawa Timur atau 8 kali Pulau Bali -. Di tahun tersebut, terdapat 3,65 juta hektar merupakan kebakaran di lokasi baru yang diindikasi adanya ekspansi perkebunan. Sebanyak 30%nya berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).

Baru-baru ini, ramai di media sosial sebuah tagar #SavePapuaForest. Pasalnya, telah banyak diberitakan bahwa perusahaan kelapa sawit asal Korea Selatan – anak perusahaan dari Korindo Group – telah membabat habis hutan Papua seluas 57 ribu hektar sejak tahun 2001 melalui pembakaran hutan disengaja. Hal ini mengancam baik lingkungan hidup maupun masyarakat adat setempat.

Hal itu masih satu, belum korporasi tidak bertanggung jawab lainnya yang membabat habis hutan dan lahan di Indonesia, hanya untuk kepentingan bisnisnya. Oleh karena itu, perlu penguatan dari semua elemen dalam menjaga Indonesia dari kerusakan lingkungan oleh para korporasi nakal.

Pemerintah harus perkuat peraturan

Lingkungan hidup akan jadi investasi, namun bagaimana bisa jika peraturan terus mendegradasi. Pada kasus Omnibus Law yang baru saja disahkan, pemerintah harusnya mempertajam peraturan, bukan malah menghapus prinsip strict liability di dalamnya. Seperti pada pasal 88 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pasal 49 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dilemahkan oleh UU Cipta Kerja.

Dalam peraturan tersebut, sangat disayangkan jika pemerintah lebih mengedepankan sanksi administratif daripada sanksi pidana. Hal itu akan membuat perusahaan besar semakin semena-mena. Karena hukum menjadi tumpul di kalangan mereka.

Selain itu, dalam memberikan sanksi administratif, pemerintah selalu menyebutkan bahwa ada perusahaan yang statusnya sudah memenuhi kewajiban. Tapi nyatanya, tidak satupun informasi yang menjelaskan, bagaimana perusahaan itu sudah memenuhi kewajiban dari sanksi administratif tersebut. Sehingga, kebakaran hutan menahun masih kerap terjadi.

Kini, hukum pidana masih jadi ultimum remedium bagi korporasi perusak lingkungan. Bagaimana bisa memberikan efek jera, jika hukum masih tidak merata. Oleh karena itu, penguatan hukum sangat diperlukan. Pemerintah seharusnya memanfaatkan kewenangannya untuk memberikan sanksi setimpal bagi korporasi tidak bertanggung jawab yang telah melakukan kerusakan pada lingkungan.

Tekan Ekspansi Perkebunan

Jika peraturan sudah diperkuat, kesadaran dari korporasi juga sangat dibutuhkan. Peraturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Beberapa contoh ekspansi perkebunan, seperti pada perkebunan kelapa sawit anak perusahaan Korindo Group yang luasnya sudah mencapai Seoul – Ibu Kota Korea Selatan -. Lalu, ekspansi perkebunan oleh PT Samora Usaha Jaya pada tahun 2019 dengan adanya kebakaran baru di lahan konsesinya sebesar 66%, dan kebakaran berulang sebesar 28%, dari total lahan terbakar selama 5 tahun yaitu sebesar 26,6 ribu hektar. Kemudian, pada perusahaan bubur kertas PT Bumi Mekar Hijau, luas terbakar di lahan konsesinya pada tahun 2015-2019 mencapai 87,6 ribu hektar. Di 2019, kebakaran berulangnya mencapai 46% atau 40,4 ribu hektar.

Ekspansi perkebunan oleh korporasi nakal banyak menimbulkan dampak. Misalnya pada mereka yang melakukannya dengan cara membakar hutan, hal itu akan berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar. Memicu penyakit infeksi saluran pernapasan akibat asap dari hasil kebakaran hutan. Tidak hanya itu, mereka juga dapat memicu terganggunya ekosistem pada alam. Oleh karenanya, perlu disudahi ekspansi perkebunan dengan cara-cara yang salah kaprah dan sangat merugikan. Apalagi membuka lahan tanpa memperhatikan hak atas tanah masyarakat setempat yang akhirnya dirugikan.

Jaga Hutan Bersama-sama

Seperti yang kita tahu, bahwa hutan adalah salah satu harta karun air bersih. Ia menyimpan pasokan air bersih dengan sangat apik. Fungsi hutan untuk meminimalkan erosi, membuat air dari hutan tidak memiliki endapan. Hal itu menjadikan airnya semakin jernih. Kemudian, hutan juga menjadi perangkap atau penyaring polutan air. Tidak seperti pada lahan-lahan masyarakat saat ini, di hutan tidak ada penggunaan pupuk, pestisida, bahan bakar, atau cairan kotor. Semuanya alami, kecuali jika terjadi kerusakan.

Hutan sangat membantu menyeimbangkan aliran air dalam tanah. Maka apabila terjadi deforestasi, pembukaan lahan sembarang, kebakaran, dan kegiatan nakal lainnya, sama dengan secara perlahan menghilangkan mata air dunia. Selain pergerakan dari pemerintah, seluruh masyarakat Indonesia juga harus menjamin keselamatan hutan. Berbagai langkah bisa dilakukan, seperti tidak menebang hutan dan membuang sampah sembarangan.

Kemudian, mengikuti aksi secara masif baik di media sosial maupun turun ke lapangan juga dapat dilakukan. Melakukan aksi menanam pohon di wilayah-wilayah gundul merupakan salah satu langkah untuk menggugah perhatian masyarakat lain dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan.

Bukan hanya aku, tapi kamu juga dapat mengkritisi ini semua. Tekan deforestasi komersial dan hapuskan titik api Indonesia. Jangan lagi-lagi kita termakan bui rayu korporasi hutan. Ingat! hutan Indonesia semakin terkikis habis. Kini negara kita sedang butuh solidaritas yang tak terbatas dari seluruh masyarakatnya dari sabang hingga merauke.

Penulis: Ulfah Mua’amaratul Hikmah (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).