Potensi Ekstrak Pohon Ara Sebagai Anti-HIV

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Kasus infeksi HIV masih menjadi permasalahan kesehatan global dan di Indonesia. Kasus ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Infeksi HIV dapat menyebabkan adanya infeksi oportunistik yang diakibatkan oleh menurunnya sistem imun tubuh sehingga mengakibatkan tingkat keparahan penderita makin meningkat yang berujng pada mortilitas yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan adanya langkah-langkah pengobatan dan pencegahan yang tepat untuk dapat menekan laju infeksi oleh HIV di Indonesia.

Pengobatan yang selama ini dilakukan adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) HIV. Pemberian obat antiretroviral ini mampu untuk menekan laju replikasi HIV dalam tubuh pasien. Namun penelitian terbaru menunjukkan adanya efek samping yang diakibatkan oleh konsumsi ARV ini yaitu resistensi obat. Resistensi obat ini dapat diakibatkan oleh penggunaan obat ARV yang lama dengan memicu adanya resistensi ataupun dapat diakibatkan oleh penderita telah terinfeksi virus yang resisten. Sehingga perlu diupayakan untuk menemukan alternative pengobatan yang efektif dan memiliki kemungkinan resistensi yang kecil. Salah satunya adalah dengan mencari kandidat obat berbahan herbal.

Beberapa komponen dari ekstrak herbal diketahui memiliki potensi sebagai anti-HIV seperti bagian alkaloid. Komponen dari ekstrak herbal ini dapat menghambat salah satu tahapan dari siklus HIV seperti tahapan fusi dengan sel inang (dalam hal ini sel T) ataupun tahapan di mana materi genetik HIV akan menyisip pada materi genetik sel inang dan mengontrol sel inang untuk memproduksi protein-protein penyusun tubuh HIV.

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki diversitas tumbuhan yang tinggi dan banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai antivirus. Salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai anti-HIV diketahui berasal dari keluarga Moraceae dari genus Ficus sp. atau dikenal sebagai beringin-beringinan. Tanaman dari keluarga Moraceae ini diektahui mengandung mulberrin, morusin dan sanggenol N dari golongan flavonoid untuk menghambat replikasi HIV. Selain ekstrak batang dari golongan Ficus glomerate yang memiliki uji hambat terhadap replikasi HIV, pada studi kali ini golognan Moraceae lainnya yaitu Ficus fistulosa juga menunjukkan penghambatan terhadap replikasi HIV secara in vitro.

Proses penemuan obat herbal sebelumnya dapat digunakan sebagai alternative terapi dengan melalui beberapa tahap di antaranya tahapan in vitro, uji in vivo, uji pre klinik dan uji klinik. Pada studi in vitro kali ini HIV diinfeksikan pada sel yang dikultur dalam botol kultur dan ditempatkan dalam inkubator. Kondisi kultur dalam botol kultur ini dibuat seoptimal mungkin sehingga dapat memotret keadaan yang sesuai dengan keadaan sel yang ada pada tubuh pasien. Infeksi HIV pada sel ini dapat diamati dengan adanya cytopathic effect atau perubahan struktur sel akibat adanya infeksi virus. Cytopathic effect yang nampak akibat adanya infeksi HIV ini adalah pembentukan sel besar dengan memiliki inti lebih dari satu dikarenakan sel-sel ini fusi atau bergabung menjadi satu. Kandidat antiviral ini dapat berupa ekstrak dari bagian batang, daun, ataupun akar. Dalam studi ini digunakan ekstrak dari daun Ficus fistulosa. Dari ekstrak ini kemudian akan difraksinasi atau dipisahkan kembali berdasarkan kandungan-kandungan ekstrak tersebut hingga ditemukan satu kandungan aktif yang efektif sebagai anti-HIV.

Antiviral ini dikatakan efektif bila memiliki efektifitas menghambat replikasi virus in vitro juga tidak memiliki sifat toksik terhadap sel yang sehat (atau sel yang belum terinfeksi). Pada percobaan uji hambat kita lakukan dengan mengkultur ekstrak Ficus fistulosa ini dengan kultur sel HIV. Ekstrak Ficus fistulosa dapat menghambat replikasi HIV setelah 7 hari kultur yang ditandai dengan berkurangnya jumlah cytopathic effect yang teramati pada kultur sel virus dengan ekstrak dibandingkan dengan kultur sel virus saja.  Selain menunjukkan tingkat penghambatan dengan menggunakan konsentrasi ekstrak dan fraksi dari Ficus fistulosa di bawah 30ug/ml, ekstrak dan fraksi ini juga menunjukkan bahwa bahan herbal ini tidak bersifat toksik untuk sel sehat pada uji toksisitas. Uji toksisitas dilakukan dengan mengkultur ekstrak atau fraksi dari Ficus fistulosa dengan sel yang belum diinfeksi oleh HIV selama 7 hari. Setelah 7 hari kultur kemudian diukur tingkat viabilitas sel dalam kultur.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi sebagai alternatif pengobatan HIV di masa depan. Penelitian perlu dilanjutkan untuk melihat efektifitas dari penghambatan ekstrak Ficus fistulosa secara in vivo sehingga dapat diketahui apakah hasil dari penelitian in vitro ini dapat diaplikasikan pada keadaan in vivo sebelum dilakukan uji pre klinik dan klinik.

Penulis: Dwi Wahyu Indriati, S.Si, Ph.D

Informasi detail dari artikel ini dapat dibaca lebih lengkap pada publikasi ilmiah berikut :

Indriati, D.W., Tumewu, L., Widyawaruyanti, A., Khairunisa, S.Q. 2020. The activities of methanol extract, hexane and ethyl acetate fractions from Ficus fistulosa in HIV inhibition in vitro. Research Journal of Pharmacy and Technology. 13(1)

http://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:rjpt&volume=13&issue=1&article=038

 DOI: 10.5958/0974-360X.2020.00038.4

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).