Dr Nurul Hartini: Pengasuhan Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme Berpotensi Tingkatkan Stres Pada Ibu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – Anak dengan gangguan spektrum autisme secara umum dicirikan oleh ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain. Anak dengan gangguan spektrum autisme biasanya sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya. Hal itu membuat perilakunya terlihat seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Anak dengan gangguan spektrum autisme dapat menurunkan kesehatan mental orang tua dan keluarga. Orang tua dengan anak yang memiliki karakteristik tersebut menunjukkan adanya penurunan kesehatan mental. Salah satunya disebabkan oleh stres pengasuhan. Anak dengan gangguan spektrum autisme dipersepsikan orang tua sebagai suatu peristiwa yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan.

“Orang tua akan merespon peristiwa itu secara negatif dan berdampak buruk pada keyakinan orang tua untuk mengatasi stresor. Hal ini berisiko terhadap kesehatan mentalnya,” ungkap Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., Psikolog, dosen psikologi Universitas Airlangga.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stres pengasuhan anak dengan gangguan spektrum autisme lebih tinggi pada ibu dibandingkan ayah. Selain karena perbedaan gender, kuantitas dan kualitas relasi ibu dengan anak yang lebih besar menimbulkan kelelahan fisik dan kecemasan yang lebih tinggi. Karakteristik dan keterbatasan anak dengan gangguan spektrum autisme juga menuntut orang tua, khususnya ibu, untuk menyediakan waktu dan tenaga yang lebih besar.

Faktor internal orang tua dalam pengasuhan, yaitu parenting self-efficacy, atau efikasi diri, berperan penting dalam menurunkan stres. Efikasi diri didefinisikan sebagai keyakinan pada kemampuan diri dalam mengambil tindakan untuk situasi yang akan datang. Orang tua dengan efikasi tinggi memiliki minat lebih dalam melakukan pembimbingan, perawatan, dan pengasuhan. Mereka juga lebih bisa menoleransi tantangan yang muncul dan memiliki persepsi diri yang positif dalam menangani stresor.

Parenting self-efficacy dibentuk oleh berbagai variabel, di antaranya penerimaan orang tua terhadap anak, penguatan positif dari anak, kelekatan, dukungan sosial terutama dari pasangan,” ujar Nurul.

“Kemampuan orang tua untuk menerima anak apa adanya tanpa syarat akan menghadirkan emosi positif untuk menerima kekurangan dan keterbatasan anak,” lanjutnya.

Parenting self-efficacy merupakan faktor internal ibu yang mendorong kreativitas dan ketekunan ibu untuk melakukan proses perawatan dan pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan. Meskipun terbatas secara finansial, ibu dengan parenting self-efficacy yang tinggi akan berusaha memberikan perawatan dan pendidikan secara langsung agar anak dapat terus berproses meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan interaksi sosialnya.

“Ibu dengan parenting self-efficacy yang tinggi akan berusaha mencari dan menemukan strategi perawatan dan pendidikan yang tepat agar anaknya dapat membangun kemandirian secara bertahap,” sebut Nurul.

Anak dengan penanganan yang tepat diharapkan dapat menempuh pendidikan formal bersama anak sebayanya. Dengan memerhatikan berbagai kebutuhan kusus dan upaya maksimal keluarga untuk memenuhinya, pengasuhan dapat dijadikan sebagai bagian dari peran orang tua. Dengan begitu, pengasuhan dapat dilakukan tanpa ada pemikiran dan perasaan terbebani. (*)

Penulis : Sukma Cindra Pratiwi

Editor : Khefti Al Mawalia

Referensi:

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/Psikohumaniora/article/view/3298/2130

Andini Iskayanti & Nurul Hartini. 2019. Self-Efficacy Parenting and Nursing Stress: Study On Mother from Spectrum Autism Children. Terbit pada Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, Vol 4, No 1 (2019): 43—52

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).