Paradigma Kesehatan Mental

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh finansial com

Dewasa ini tentunya tak jarang kita sering melihat atau membaca berita entah di televisi, media sosial, ataupun media cetak  mengenai salah satu kelainan yang dialami oleh manusia yaitu gangguan jiwa atau penyakit mental. Di berbagai pelosok Negeri masih kita temui cara penanganan yang kurang  tepat bagi para penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap sebagai makhluk aneh yang dapat mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak diasingkan oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan semakin kecilnya penderita untuk pulih. Untuk itu pemberian informasi, mengedukasi masyarakat sangatlah penting terkait kesehatan mental agar stigma yang ada di masyarakat dapat dihilangkan dan penderita mendapatkan penanganan yang tepat Pola pikir atau stigma yang tercipta  seringkali menggunakan cara lama, primitif dan sudah dianggap turun temurun dari penanganan hingga tindakan yang dilakukan. Penanganan yang kurang tepat pastinya mengakibatkan semakin parahnya kelainan yang dialami dan bukan menjadi sebuah solusi dari permasalahan.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, keduanya memiliki keterlibatan satu sama lain, bilamana seseorang terganggu fisiknya maka ia dapat dimungkinkan terganngu mental atau psikisnya, begitupun hal sebaliknya. Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam kehidupan manusia. Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya. Maka dapat dipahami ketika Individu berada diluar definisi tersebut maka dimungkinkan dapat ditemukanya suatu kelainan, kita menyebutnya gangguan jiwa.

Definisi Gangguan jiwa atau mental illnes menurut ahli adalah keadaan dimana seseorang mengalami kesultan mengenai persepsinya tentang kehidupan, hubungan dengan orang lain, dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Sedangkan Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. 

Berdasarkan berita yang dilansir oleh Harian Nasional Penderita gangguan jiwa di Indonesia tercatat meningkat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. “Ada peningkatan jumlah menjadi 7 per mil rumah tangga. Artinya per 1.000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang ada ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu ODGJ berat,” ujar Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono kepada HARIAN NASIONAL

Ada beberapa macam gangguan jiwa diantaranya adalah skizofrenia, depresi psikopat, bipolar disorder, anti sosial dan lain lain. Data Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.

Pada faktanya penanganan dari dampak tingginya masalah kesehatan mental menghabskan dana yang tidak sedikit. Diketahui dari Guru Besar ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ascobat Gani kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan mental berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp 20 triliun. Tentunya angka tersebut tidak sedikit bilamana dialokasikan pada pembukaan lapangan kerja atau investasi pendidikan untuk masa depan yang lebih terang. 

Penyebab tingginya masalah kesehatan mental juga dipicu dari kurang adanya keterbukaan masyarakat mengenai hal tersebut, mereka memilih untuk diam dan mencoba untuk melakukan penanganan sendiri, dengan cara primitif dan kuno. Kurang adanya keterbukaan juga menutup kemungkinan buat adanya penanganan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau institusi lembaga kesehatan. Masyarakat masih beranggapan bahwa kelainan mental bukan merupakan penyakit yang butuh penanganan secara serius, sama sekali tidak lebih berbahaya dari pada penyakit fisik ( yang terlihat). 

Ada beberapa hal lain yang menjadi pemicu tingginya masalah kesehatan mental yaitu yang pertama minimnya edukasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat akan hal tersebut dan kedua masih tebalnya stigma buruk masyarakat terhadap penderita masalah kelainan mental.

Yang pertama adalah masih kuatnya stigma masyarakat terhadap penderita kelainan mental. Mereka para penderita seakan dianggap sebagai manusia yang berbahaya sehingga harus diberikan perlakuaan yang kurang wajar atau bahkan tidak manusiawi, salah satu bentuknya adalah pemasungan. Hal ini masih bisa dengan mudah kita jumpai terutama didaerah pedalaman atau pelosok pelosok daerah. Masyarakat pelosok masih beranggapan bahwa pemasungan adalah salah satu bentuk penanganan, padahal bukan.  Apabila cara ini masih dianggap sebagai cara yang relevan maka semakin tingginya angka kelainan mental akan semakin sulit untuk dihindarkan, pada akhirnya berakibat pada  penambahan beban negara terhadap penanganan yang semakin banyak.

Yang kedua adalah Minimya edukasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan dan kelainan mental beserta penangananya menjadi salah satu faktor masih tingginya angka kelainan mental di Negara kita. Peranan dalam Memberikan edukasi dan pemahahan mengenai kesehatan mental, gangguan kesehatan mental, berikut dengan penanganannya bukan hanya dibutuhkan oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan kesehatan mental, melainkan kepada seluruh masyarakat pada umumnya. Dalam konsep person in environment yang menjadi salah satu ciri khas dari pekerjaan sosial menjelaskan bahwa keberadaan seseorang individu akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Untuk perihal kesembuhan penderita gangguan kesehatan mental maka seluruh lapisan masyarakat wajib dan berhak mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya untuk menciptakan lingkungan (sosial) yang proporsional bagi kesembuhan para penderita.

Ketersediaan informasi yang tersampaikan pada masyarakat adalah salah satu bentuk upaya untuk sedikit menggeser stigma kuat masyarakat mengenai kesehatan mental.  Melalui bentuk pemahaman yang dilakukan oleh kelompok maupun personal akan mampu menghapuskan paradigma yang ada. Paradigma baru yang terbentuk tentunya akan menjadi sebiah hal yang  baru, upaya dalam rangka mengantarkan Indonesia lebih baik, terciptanya kesejahteraan yang termanifestasi melalui rakyat yang sehat secara fisik maupun psikis serta rakyat yang informatif  dan edukatif. 

Pada kesimpulanya yang bisa kita upayakan sebagai mahasiswa adalah memberikan sebuah edukasi kecil terhadap masyarakat sekitar bahwa penderita kelainan mental tidak boleh dijauhi, dikucilkan, apalagi diberikan penanganan yang tidak manusiawi. Mereka perlu untuk diobati dan mendapatkan perawatan berupa penanganan secara medis atau psikologis. Akan selalu ada lembaga atau instansi kesehatan yang dapat memberikan penangan yang lebih baik. 

Pada harapanya adalah terwujudnya sedikit demi sedikit pemahaman masyarakat yang dapat menghapus paradigma  buruk dan tebal mengenai perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa atau kesehatan mental beserta penangananya. Rakyat informatif dan edukatif untuk Indonesia yang lebih baik.

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi