Citra Tembakau dan Tingkat Perekonomian Petani Tembakau di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Tembakau
Ilustrasi oleh merdeka.com

Tembakau adalah produk pertanian yang diproses dari daun tanaman genus Nicotiana. Tembakau terkenal karena manfaatnya sebagai penenang di samping manfaatnya yang lain. Selain itu, tidak jarang masyarakat awam menganggap tembakau sebagai tanaman yang negatif. Hal ini tidak terlepas dari hasil olahan tembakau, yaitu rokok yang dikenal sebagai salah satu penyebab terbesar kematian di dunia.

Menurut kelompok atau orang-orang tertentu, rokok dianggap memiliki dampak sosial yang positif. Dalam diskusi kecil mengkritisi fenomena atau membicarakan bisnis seolah tidak lengkap tanpa hadirnya rokok yang disandingkan dengan kopi. Rokok megajarkan bagaimana sesama teman harus berbagi, sebuah loyalitas ketika diri sendiri merasakan nikmatnya menghisap tembakau maka teman kita yang doyan merokok juga harus merasakan di saat yang bersamaan. Citra rokok di kalangan orang dewasa cukup menarik. Karena tidak jarang ketika menghisap rokok ide-ide yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan mulai bermunculan.

Permintaan dan Ketersediaan Tembakau

Indonesia memiliki jumlah perokok yang sangat besar. Dalam Sudibyo Markus (2015: 85) “Laporan WHO pada 2008 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ketiga untuk jumlah perokok terbesar dari jumlah perokok dunia (4,8%), setelah Cina (30%) dan India (11,2%).” Tidak heran jika permintaan tembakau yang digunakan untuk memproduksi rokok pun cukup besar. Namun sayangnya jumlah panen tembakau yang ada di Indonesia tidak dapat mencukupi permintaan pasar dalam negeri. Hal ini merupakan salah satu masalah pertanian tembakau, sehingga industri rokok mengimpor tembakau dari berbagai negara terutama dari Tiongkok. Selan itu, meningkatnya jumlah perokok di Indonesia dan harga tembakau impor yang semakin kompetitif (murah), khususnya dari India, Zimbabwe dan Malawi juga menjadi alasan Indonesia melakukan impor tembakau.

Pemerintah dan Citra Tembakau

Baik dan buruknya citra tembakau di dalam masyarakat tergantung bagaimana masyarakat tersebut memanfaatkan adanya tembakau dalam kehidupan mereka. Sebagian orang tidak mampu mengontrol konsumsi tembakau alias mengkonsumsinya secara berlebihan. Sehingga bukan manfaat yang didapat namun justru penyakit atau kerugian. Hal seperti inilah yang membuat tembakau dipandang sebelah mata. Menanggapi banyak masyarakat yang konsumtif terhadap tembakau, pemerintah mengambil jalan dengan melakukan pengawasan terhadap iklan dan promosi produk tembakau (khusunya rokok) yang dilakukan pada media cetak, media penyiaran, dan media teknologi informasi.

Berkurangnya jumlah konsumsi tembakau sama dengan berkurangnya jumlah pendapatan. Seperti yang dikatakan Jha, dkk (2000 : 81)  “Memang perlu diketahui bahwa apabila tujuan akhir pengawasan terhadap tembakau adalah demi kepentingan kesehatan manusia, maka secara ideal para pembuat kebijakan akan berharap dapat melihat konsumsi tembakau merosot ke tingkat yang paling rendah, sehingga akhirnya pendapatan dari pajak tembakau akan menurun juga.” Namun pemerintah bisa saja memperkenalkan pajak pendapatan atau pajak konsumsi alternatif yang digunakan untuk menggantikan pajak tembakau demi tetap memenuhi kebutuhan negara.

Jika jumlah tembakau yang boleh dikonsumsi oleh masyarakat dibatasi atau dipangkas, maka negara harus bisa mengoptimalkan potensi demi menutupi segala hal yang sebelumnya dibiayai menggunakan anggaran hasil penjualan tembakau. Tidak bisa dipungkiri bahwa mengkonsumsi tembakau sudah melekat dan menjadi bagian dari hidup banyak orang. Jika tidak mampu mengoptimalkan potensi SDA mapun SDM, maka jalan yang bisa diambil adalah dengan menaikkan pajak atau membayar fasilitas yang sebelumnya mendapat subsidi dari hasil penjualan tembakau. Di sinilah dilemanya. Masyarakat dituntut membayar lebih mahal karena sudah tidak mendapat subsidi dari hasil penjualan tembakau demi kesehatan. Padahal masyarakat bisa membayar lebih murah dengan membeli tembakau secara senang hati, dan kemudian mendapat subsidi dari pajak tembakau tersebut.

Posisi Petani Tembakau

Paling termarginalkan adalah posisi petani tembakau dalam praktik tata niaga tembakau, meskipun ketika pemerintah tidak menurunkan konsumsi tembakau, atau sekalipun penikmat tembakau dalam puncak terbanyaknya. Sudibyo Markus (2015: 114) mengatakan “Mereka berada dalam kondisi terbatas, baik dalam kepemilikan lahan, modal usaha, pengetahuan dan tehnik budi daya. Situasi semacam ini rawan dimanfaatkan para pemodal yang terdiri atas beberapa perusahaan besar. Mereka mendorong lahirnya praktik monopsoni atau oligobsoni dalam industri tembakau.” Dalam situasi seperti itu, petani tembakau hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pabrik dengan keuntungan yang pas-pasan. Pilihan lain adalah menahan tembakau mereka, namun bisa jadi justru memperoleh resiko lain yang mungkin lebih buruk, seperti tembakaunya tidak kunjung laku. Padahal petani tembakau juga harus segera memperloeh uang untuk menghidupi keluarga.

Sangat disayangkan sosok petani tembakau yang merupakan pelaku dasar yang paling berperan dalam tata niaga tembakau harus menerima hasil secara tidak maksimal. Tidak ada situasi dimana keuntungan dapat berpihak kepada mereka. Memperoleh keuntungan yang sesuai dengan pelaku mata rantai tata niaga tembakau yang lain saja sudah pencapaian yang bagus. Meskipun memang tidak semua petani tembakau demikian. Sebaiknya pemerintah mencarikan win-win solutions antar semua komponen mata rantai tata niaga tembakau. Sehingga tercipta keselarasan yang harmonis.

Berita Terkait

Yuliana Kristyanti

Yuliana Kristyanti

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya