Konsumen Diharapkan Jeli pada Saat Transaksi Elektronik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kegiatan pengabdian masyarakat diadakan oleh Pusat Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) secara virtual melalui zoom meeting pada Sabtu (26/06/21).

UNAIR NEWS – Transaksi elektronik di Indonesia meningkat pesat dalam satu dekade terakhir, khususnya pada masa pandemi Covid-19. Meski demikian, meningkatnya transaksi elektronik itu berpotensi menyebabkan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha semakin meningkat.

Drs. Muhammad Said selaku anggota Komisi Kelembagaan dan Kerja Sama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebagai pemateri menekankan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku saat ini dinilai masih banyak memiliki kelemahan.

“Dengan maraknya kejadian di media sosial dimana ketika konsumen melakukan jual beli melalui media elektronik atau e-commerce ternyata barang yang diperolehnya tidak sesuai dengan yang ditawarkan” ungkapnya.

Drs. Said sapaan karibnya juga mengungkapkan bahwa di era globalisasi ini tidak sedikit ditemui pelaku usaha yang berasal dari luar negeri yang memasarkan barangnya di e-commerce di Indonesia. Dengan begitu apabila terjadi sengketa pelaku usaha yang berada di luar negeri itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, lantaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia hanya terfokuskan pada pelaku usaha dalam negeri saja.

Untuk meminimalisir adanya kerugian bagi konsumen, maka konsumen dituntut untuk lebih teliti dan memperbanyak literasi antara pihak konsumen dan pelaku usaha. Yakni literasi pra-transaksi, literasi proses transaksi, dan literasi pasca transaksi atau purna jual.

“Khususnya dalam literasi pra transaksi, konsumen haruslah benar-benar jeli untuk memastikan segala hal terkait dengan barang yang akan dibeli sampai dengan proses pembayaran dan pengiriman. Pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar terkait dengan hal yang ditanyakan oleh konsumen,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, (Can. Dr.) Bambang Pujiono, S.Pd., S.H., M.H. dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kediri menerangkan bahwa sengketa konsumen merupakan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerugian yang didapat dari konsumsi barang atau jasa dari pelaku usaha. Sengketa konsumen menjadi wewenang dari BPSK.

“Alur persidangan dalam BPSK baik konvensional maupun elektronik pada intinya sama saja. Namun, banyak terjadi ketika melakukan permohonan eksekusi di pengadilan pelaku usaha melakukan perlawanan di pengadilan dan konsumen biasanya tidak ditemani oleh pengacara, jadi tidak ada yang membelanya, sehingga 80 persen putusan BPSK dibatalkan oleh pengadilan,” terangnya.

Maka dari itu, sambungnya, perlu dikuatkan peran dan fungsi BPSK untuk melakukan penetapan putusannya agar tidak mudah dipatahkan.

Sebagai informasi, bahasan soal transaksi elektronik dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu dilaksanakan oleh Pusat Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) melalui pengabdian masyarakat yang dilaksanakan secara online.

Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H., selaku ketua pelaksana menuturkan bahwa kegiatan yang dilakukan melalui zoom meeting pada Sabtu (26/06/21) itu bertujuan untuk memberikan edukasi terkait sengketa konsumen pada transaksi elektronik. Edukasi tersebut menyasar pada Yayasan At Tohirin dari masyarakat desa Masangan Kulon Peterongan Sidoarjo. (*)

Penulis : Asthesia Dhea Cantika

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp