Pakar UNAIR Ungkap Bahaya dan Strategi Pencegahan Pelecehan Seksual pada Mahasiswa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber gambar: https://bit.ly/3f3sSnB

UNAIR NEWS – Pelecehan seksual tidak dapat dipungkiri masih menjadi salah satu kejahatan yang dapat terjadi dimanapun, tidak terkecuali di lingkungan kampus. Meski berada di lingkungan akademik, pelecehan seksual terhadap mahasiswa masih seringkali terjadi dan sayangnya belum mendapatkan perhatian serta penanganan yang semestinya.

Pakar Antropologi Ragawi, Gender, dan Seksualitas Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, MA. Ph.D mengungkapkan bahwa persepsi yang salah terhadap korban pelecehan seksual serta rendahnya komitmen kampus dapat semakin memperkeruh upaya pencegahan aksi kejahatan tersebut.

“Ada pengaruh budaya sangat besar yang membentuk persepsi yang berpotensi mendorong pada pelecehan seksual. Ada yang menganggap perhatian secara seksual adalah pujian. Atau menganggap normal seseorang yang menikmati keindahan tubuh orang lain di jalan sambil mengeluarkan ujaran bernuasa sensual,” jelas Guru Besar UNAIR Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu.

Persepsi buruk lain yang juga harus diberantas adalah anggapan seseorang dilecehkan karena pakaian yang mengundang atau perilakunya yang membuatnya layak mengalami pelecehan. “Padahal siapapun dan bagaimanapun mereka, perempuan atau lelaki, tidak layak untuk mengalami hal demikian,” imbuhnya.

Prof. Myrtati juga menggarisbawahi bagaimana pelecehan seksual di ranah kampus dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan jenis. Ia menuturkan, setidaknya ada 13 tipe pelecehan yang harus diketahui dan dipahami agar dapat menghindarinya.

Tipe-tipe pelecehan tersebut seperti oportunis, confidante, pemain-kekuasaan, berperan sebagai figure Ibu/Ayah, geng, pelecahan di tempat tertutup, groper, pelecehan situasional, pest, the great gallant, intellectual seducer, incompetent, serta sexualized environment.

Upaya Pencegahan

Untuk mencegah pelecehan di lingkungan kampus sendiri, Prof. Myrtati mengimbau agar institusi kampus memiliki kebijakan yang jelas untuk mencegah dan menanggulangi masalah pelecehan seksual. Selain itu, pelaporan tindakan pelecehan seksual harus segera dibarengi dengan penyidikan, konseling psikologis, dan pendampingan untuk mengatasi stres pada penyintas.

Prof. Myrtati menerangkan bahwa perlindungan terhadap korban harus turut menjadi prioritas bersama. “Penyintas berpotensi kembali menjadi korban, entah dari pelaku yang ingin balas dendam atau oknum-oknum lain yang ada di lingkungannya,” terangnya.

Ia menyoroti bagaimana kini masih banyak institusi yang urung berkomitmen pada upaya perlindungan korban karena berusaha melindungi nama baik dan reputasinya. “Akibatnya, sering terjadi kasus tekanan untuk keluar dari institusi, pemutusan beasiswa, nilai yang buruk, terror, hingga perlakuan yang buruk secara sistemik yang menimpa penyintas,” jelas Guru Besar FISIP UNAIR tersebut.

Maka, melalui presentasinya dalam webinar pengabdian masyarakat Psikologi UNAIR bertajuk Membangun Self-Compassion Mahasiswa Penyintas Pelecehan Seksual itu, Prof. Myrtati berharap agar institusi pendidikan mampu berkomitmen pada kebijakan dan tindakan pencegahan pelecehan seksual maupun perlindungan bagi penyintas.

“Penyintas harus segera mendapat konseling dan pendampingan. Lakukan terapi stress-management, cognitive-behavioral, serta memberikan dukungan dari keluarga maupun para sahabatnya,” tandasnya. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp