UU ITE Dianggap Batasi Masyarakat, Simak Penjelasan Staf Ahli Kominfo Dosen UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof.Dr.Drs.Henri Subiakto memberikan penjelasan mengenai UU ITE. (Foto: Youtube Deddy Corbuzier)

UNAIR NEWS – UU ITE acapkali dianggap sebagai peraturan yang membatasi masyarakat dalam kebebasan berpendapat di dunia maya, utamanya dalam menyampaikan kritik. Regulasi ini juga digadang-gadang menjadi faktor utama pemicu bungkamnya masyarakat yang kritis dan aktif di media sosial.

Menjawab hal tersebut, Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, S.H, M.Si, Guru Besar Universitas Airlangga yang juga merupakan Ketua tim pembuatan pedoman UU ITE menanggapi bahwa regulasi tersebut tidak dibuat untuk mengekang masyarakat. “UU ITE tidak dibuat untuk membatasi kebebasan berpendapat. Jangan sampai UU ITE jadi draconian code atau hukum yang menakuti warganya, karena salah persepsi dan salah implementasi di banyak tempat,” jawabnya.

Staf Ahli Kominfo sejak tahun 2007 tersebut menjelaskan bahwa UU ITE merupakan perpanjangan dari hukum yang telah ada. “Sebenarnya sudah ada di dunia fisik, namun  di ekstensifikasi dalam dunia maya, sehingga konsekuensinya berbeda yaitu larangannya lebih tinggi karena tingkat penyebarannya yang lebih besar,” ungkapnya.

Kiri : Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, S.H, M.Si sebagai ketua tim pembuatan Pedoman UU ITE menghadiri penandatanganan SKB Implementasi UU ITE  yang dipimpin oleh Menkopolhukam. (Foto: Dokumen Pribadi)

Mengenai kritik masyarakat yang berujung melanggar pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, Guru Besar Komunikasi UNAIR tersebut menyatakan bahwa seseorang dapat mengajukan delik aduan tersebut hanya ketika ia memenuhi dua syarat. Yang pertama, korban yang disebut adalah orang secara pribadi, yang berupa nama, bukan alias atau inisial yang menimbulkan error in persona, bukan juga organisasi, komunitas, ataupun asosiasi. Yang kedua, yang mengajukan delik aduan tersebut harus korban yang bersangkutan, tidak dapat diwakilkan kecuali subjek tersebut tidak memiliki kecakapan hukum, semisal anak di bawah umur.

Dalam pemaparannya, ia mencontohkan adanya organisasi yang merasa dihina, diperbolehkan untuk marah namun tidak memenuhi syarat pertama untuk mengajukan delik tersebut dalam Undang-undang yang disahkan tahun 2008 tersebut. “Karena UU ITE merupakan pasal untuk melindungi individu, bukannya melindungi jabatan atau orang dalam jumlah banyak,” sebutnya.

Salah persepsi yang sering ditemukan di masyarakat disebutkan Prof. Henri dikarenakan banyak orang menginterpretasi UU ITE tanpa melihat UU KUHP. “Termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik mengacu pada UU KUHP, jadi untuk definisi dan deliknya dapat dilihat di KUHP,” jelasnya. Dalam tanggapannya, ia juga mengatakan bahwa persoalan kebebasan berpendapat dan komunikasi kadang bukan dihambat oleh regulasi namun oleh sensitivitas sosial dalam masyarakat.

Dari pernyataan dalam youtube Deddy Corbuzier tersebut, Prof. Henri juga menceritakan adanya gugatan terhadap UU ITE karena dianggap mengambil hak konstitusional warga negara. Tetapi perlu diketahui bahwa hak konstitusional yang bebas juga dibatasi oleh basic rights, dimana seseorang mendapat hak untuk tidak difitnah maupun dituduh. “Sehingga dalam hal ini UU ITE harus tetap dipertahankan untuk menjamin basic rights,” sebutnya. (*)

Penulis : Stefanny Elly

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp